Ifa M Dewi Pemilik SOGAN BATIK "Kuncinya, Inovasi!"
Bulan lalu, peserta Perempuan Inspiratif NOVA (PIN) 2011, acara tahunan yang dihelar Tablijd NOVA, banyak yang merasa surprise saat berkunjung ke sentra pembuatan batik Sogan milik Ifa M Dewi (29) di Desa Rejondani, Ngaglik, Sleman. Para perempuan dari berbagai daerah itu merasa istimewa berada di rumah Joglo yang dibangun pada abad 18 itu. Selain mendapat diskon saat berbelanja, mereka juga bisa ikut pelatihan membatik di atas saputangan. Sogan, memang menjadi salah satu pendukung berlangsungnya acara PIN 2011 di Jogja.
Dulu, sentra batik Sogan sempat dikenal sebagai Sogan Village. Namun selanjutnya Ifa menghilanghkan kata Village pada tahun 2009. "Kesannya, kata village itu seperti penginapan, ya. Padahal sejak awalnya atau 10 tahun lalu saat memulai bisnis ini kami ingin fokus ke batik. Di bisnis batik ini banyak yang terlibat. Mulai dari pembatik hingga penjahitnya. Dengan modal sedikit, tetapi yang menikmati hasilnya bisa lebih banyak orang," papar Ifa.
Awalnya, Ifa memproduksi kain batik sutra dan membuat kimono batik untuk diekspor ke Jepang. Tetapi kini Ifa lebih banyak memproduksi busana-busana siap pakai. "Kain batik, terlebih sutra, perputaran uangnya sangat lambat. Karena nilainya tinggi. Tapi setelah saya membuat busana siap pakai dengan harga menengah, responsnya, kok, bagus, perputaran uangnya cepat, kapasitas produksinya banyak, dan yang terlibat di indusri ini juga banyak. Karena itu saya istiqamah di jalur ini," imbuh Ifa yang kini banyak membuat batik dari kain katun.
Membaca keinginan pasar, membuka diri, dan membaca peluang, terus dilakukan Ifa untuk keberlangsungan bisnisnya. Tetapi, ia kini tidak terlalu mengikuti tren mode di pasaran. Pasalnya, Ifa mengaku pernah tidak berhasil mengikuti tren yang ada. "Tidak bisa bersaing di harga. Di pasaran terlalu banyak barang yang sama dengan harga murah. Sementara kelemahan saya, tidak bisa menekan harga. Penyebabnya, saya sulit mendapatkan sumber daya manusianya. Tidak seperti Pekalongan atau Cirebon yang cukup mudah memperoleh pembatik. Sementara saya harus melatih dulu. Lokasi kami juga jauh dari material batik. Itu sebabnya tidak bisa menjual barang yang sama di pasaran dengan menekan harga."
Solusinya, lanjut Ifa, tetap menyimak keinginan pasar, tetapi menciptakan desain batik dan garis rancangan sendiri. "Prinsip saya dalam mendesain busana tetap yang menutup aurat. Meski belum sempurna seperti layaknya akhwat (muslimah seutuhnya). Tapi sudah cukup menutup aurat lah. Dan ternyata diminati pelanggan yang datang ke Sogan. Ini karena motif batik sogandan desainnya tak ada di pasaran."
Ciri khas batik rancangan Sogan berupa busana-busana dengan padu padan motif kain batik karya Ifa sendiri. Dihiasi aksesoris yang dibuat sendiri pula. "Nyatanya, peminatnya cukup banyak. Bisa 5-7 kali lipat daripada sebelumnya. Jadi, memang harus ada inovasi dalam bisnis ini. Kalau barang mau laku, kuncinya, ya harus beda."
Tak sulit bagi Ifa mendatangkan pelanggan ke show room-nya karena ia bekerjasama dengan biro perjalanan. Karena itu usaha sampingannya membuat work shop batik juga terus diminati, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Terlebih di musim libur sekolah.
"Semua bisa lancar karena saya dibantu suami yang mengurusi soal manajemen, marekting, termasuk dorongan moril. Kalau saya, cuma punya banyak ide, tapi belum tentu bisa tertata seperti sekarang ini."
Meski pasar lokal saat ini lebih menjanjikan, Ifa juga tak hendak meninggalkan pasar luar negeri yang lebih dulu digarapnya. "Ekspor kimono ke Jepang masih stabil. Setahun paling tidak enam kali kirim barang. Per dua bulan, sekitar 40-100 lembar kimono dengan warna-warna soft di kirim ke Jepang. Ekspor ke Jepang bisa stabil lantaran bagi mereka, kimono layaknya kebaya yang senantiasa dikenakan. Pasarny apun sudah terbentuk. Nah, saya melihat peluang pasar Eropa untuk produk terbaru saya yaitu tas batik," ujar istri Taufik Abdurrahman ini.
Tas dan sepatu batik serta aksesori dari kain batik yang merupakan diversifikasi usaha Ifa dibuat bukan tanpa sebab. Selain memanfaatkan sisa-sisa kain yang ia miliki, tas tidak memerlukan size tertentu. Dengan kata lain, bisa dibuat dengan model dan ukuran apa saja. Selain itu, sejak beberapa tahun lalu Ifa mempekerjakan sejumlah karyawan difable.
"Saya harus terus berpikir keras membuat produk apa yang cocok dengan pekerja saya itu. Jadi bukan mereka yang menyesuaikan dengan pekerjaan yang sudah ada, tetapi saya yang memikirkan apa produk yang bisa mereka buat. Kami harus terus bergerak, berubah, dan berusaha menjadi lebih baik, entah apa pun itu. Tapi yang jelas harus menjadi lebih baik dari hari ini. Itu fitrahnya. Itu karunia Allah," tutup sarjana ekonomi manajemen dari UPN Yogyakarta ini.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR