Sepanjang hidupnya, Dimas praktis tak pernah melakukan apa yang seharusnya anak seumurnya lakukan. Seharusnya saat ini ia sudah bisa sekolah, main sepakbola atau sepeda bersama teman-temannya. Jangankan berdiri, untuk berbicara, bergerak, bangun, atau duduk saja sudah susah. Meski begitu, saya dan suami tak pernah putus asa.
Memang, kami pernah dilanda frustasi dan terlintas dalam pikiran ini untuk mengambil jalan pintas, mengakhiri hidup saja. Tapi saya bersyukur masih dibimbing Allah. Saya tak tega meninggalkan anak-anak. Saya harus tetap sehat agar bisa merawat mereka. Kini, teman main Dimas sehari-hari hanya televisi kecil saja.
Meski kondisinya seperti itu, bila ada yang lucu di teve Dimas bisa ikut tertawa. Entah mengerti atau tidak, tapi sepertinya ia mengerti. Hanya saja ia tak bisa menyampaikan pikirannya dengan kata-kata. Teve akan selalu menyala selama Dimas terbangun. Kendati begitu, Dimas tak bisa ditinggal terlalu lama sendirian. Ia tak boleh terlalu bahagia atau sedih. Sebab, Dimas akan kejang-kejang.
Kalimat yang biasa ia ucapkan hanya "Ma, mam..." Kata-kata pendek yang pertama kali bisa ia ucapkan itu membuat saya sangat bahagia. Saya selalu mengajaknya bicara, meski ia tak bisa membalas ucapan saya. Ke mana-mana Dimas harus digendong dan masih harus dimandikan. Bila dibawa ke luar rumah, Dimas sepertinya merasa tak nyaman.
Ia tak mau didekati orang lain atau bahkan dilihat orang. Sepertinya ia sensitif akan kondisinya, ia pun tak suka dibawa ke tempat ramai. Jadi, bukan karena kami malu akan kondisi Dimas, tapi memang Dimas yang tak mau. Padahal, kami ingin sekali Dimas bisa merasakan hangatnya sinar mentari dan melihat teman-temannya bermain.
Seperti kata pepatah, saya dan suami hanya bisa melakukan "mata terbuka namun terlinga ditutup". Kami tak pernah meninta-minta kepada para tetangga, kok. Buat kami, dukungan dan doa akan lebih baik daripada mencibir di belakang kami. Yang pasti, saya dan keluarga sangat berharap untuk bisa terus berpikir positif agar fokus mengobati Dimas. Saya juga berharap agar mereka yang mencibir kami dibukakan pintu hatinya. Ini semua kehendak Tuhan, dan bagaimanapun juga Dimas adalah amanat dari Tuhan yang harus kami jaga. Kami anggap ini semua cobaan dari Tuhan buat keluarga kami. Kami harus menerimanya dengan ikhlas dan melakukan yang terbaik. Ya, segalanya akan kami berikan buat Dimas. Jika ada rezeki dari manapun, Dimas lah yang menjadi prioritas kami.
Edwin Yusman F
KOMENTAR