Jika dihitung total, utang kami sudah sampai di angka ratusan juta rupiah. Jumlah yang tentu saja tidak kecil bagi keluarga kami. Saya hanya ibu rumah tangga biasa an suami adalah petugas keamanan (satpam) di sebuah perusahaan swasta.
Dalam kehidupan pernikahan kami yang kini sudah berusia 13 tahun, ini semua bagaikan mimpi buruk. Tak pernah kami membayangkan akan hidup seperti ini. Lagi pula, siapa sih yang menginginkannya? Namun kami jalani saja dengan sabar dan ikhlas karena kami tak tahu lagi harus berbuat apa. Untuk biaya pengobatan Dimas terakhir saja, kami sudah menghabiskan uang hingga Rp 48 juta!
Saat ini, Dimas tak lagi diobati secara medis melainkan kami memabwanya ke beberapa pengobatan alternatif. Sudah tak terhitung berapa banyak tempat pengobatan alternatif yang kami sambangi. Meski biaya terbilang murah, namun tetap saja berat bagi kami. Setelah berhenti dari pengobatan medis, kondisi Dimas menurun. Maret lalu, pahanya membengkak dan mulai mengeluarkan darah.
Ya, ketika lahir tubuh Dimas tak ada yang berbeda dari bayi-bayi baru lahir lainnya. Seperti kakaknya, Dimas ketika itu sangat lucu dan menggemaskan. Sanak saudara dan para tetangga ikut berbahagia menyambut kehadiran Dimas ke dunia. Namun, di tahun 2003 ketika Dimas masih berusia 3 bulan kami melihat ada benjolan kecil di paha kiri atasnya. Kami lalu memeriksakan kondisinya ke RS Harapan Kita Jakarta.
Menurut dokter, bisa disembuhkan dengan pengobatan seharga Rp 2,5 juta. Tapi tak bisa dilakukan saat itu juga. Melainkan harus menunggu Dimas berusia 1,5 tahun sampai kondisi tubuhnya kuat menerima pengobatan. Ketika berusia 10 bulan, Dimas jatuh sakit. Badannya kejang, panas tinggi, dan buang-buang air sampai badannya membiru. Kami lalu membawanya ke klinik. Sayang, klinik angkat tangan dan akhirnya Dimas dibawa kembali RS Harapan Kita.
Sesampainya di sana, ruangan perawatan penuh. Dimas lalu dilarikan ke RS Thamrin untuk mendapatkan perawatan di ruang ICU selama 17 hari dan 3 hari dirawat di ruang biasa. Sejak pulang dari RS, Dimas mulai membaik. Tapi kondisi Dimas sudah tak seperti dulu. Badannya tegang, kaku seperti patung.
Kami lalu membawa Dimas berobat alternatif, alhamdulillah kondisinya membaik dan badannya mulai bisa melemas. Tanggan dan kakinya pun bisa bergerak lagi. Sayangnya kami jadi lupa untuk fokus mengobati benjolan di paha Dimas. Sementara dari hari ke hari benjolannya makin membesar. Karena takut terbebani biaya bila berobat ke RS, kami terus mengobati Dimas melalui pengobatan alternatif di Jakarta, Bogor, dan Sukabumi.
Di tengah proses pengobatan itu, saya kembali hamil dan melahirkan anak ketiga. Kondisi anak ketiga kami juga sakit-sakitan. Ketika usia si kecil 5 bulan, sempat dirawat berkali-kali di RS akibat sakit paru-paru. Stres! Sementara saya dan suami harus tetap fokus pada pengobatan Dimas.
Akhirnya, mau tak mau kami harus sedikit "longgar" dalam mengobati Dimas. Semua perhatian pun tercurah pada anak ketiga. Saya pun hanya bisa berdoa kepada Allah agar diberikan kesehatan untuk bisa merawat anak-anak. Demi membantu biaya pengobatan, barang berharga yang ada di rumah dijual. Hanya satu peralatan rumah tangga yang tak boleh dijual, yaitu kulkas. Karena kulkas bisa menghasilkan uang tambahan bagi kami.
Untuk mengisi waktu luang, saya membuat es mambo dan es batu untuk dijual di sekolah-sekolah atau para tetangga. Saya juga buka usaha kecil-kecilan jualan pisang goreng yang dititipkan ke warung. Suami juga ikut banting tulang, pagi sampai sore bekerja sebagai satpam. Malamnya, ia ngojeg.
Apapun pekerjaan halal kami lakukan demi mendapatkan uang untuk makan, bayar kontrakan, dan pengobatan anak-anak. Tak lama, anak ketiga kami rupanya tak tahan lagi melawan sakitnya, dan meninggal dunia. Sedih sudah pasti, tapi kami tak bisa terlalu lama meratapi kepergian buah hati kami.
Sepulang dari pemakaman, kami kembali memerhatikan benjolan di paha Dimas yang makin membesar. Saat diukur, diameternya sudah mencapai 48 sentimeter, bengkak, dan warnanya bukan merah lagi melainkan ungu seperti terung. Badan Dimas pun panas sekali. Bengkak di pahanya kemudian mengeluarkan darah, seperti air keran yang tak bisa berhenti mengucur.
Sudah diperban pun tak bisa berhenti mengalir darahnya. Siapa yang tak panik melihatnya? Kami tak bisa langsung membawa Dimas ke dokter saat itu karena kami tak punya uang. Sementara kami baru saja habis-habisan mengeluarkan uang untuk mengobati anak ketiga dan pemakamannya.
Kemudian, komandan satpam suami datang ke rumah. Ia membawa Dimas ke RS St Corolus untuk mendapatkan pengobatan. Tanpa sepengetahuan saya, komandan suami membuka sumbangan buat Dimas di perusahaan tempat suami bekerja. Namun itu sempat terjadi kesalahpahaman.
Pasalnya, Komandan suami tak tahu nama asli anak saya Dimas. Komandan tahunya nama anak kami adalah Bagas. Padahal, itu nama panggilan Dimas. Pihak SDM kantor pun menelepon suami, mengecek kebenaran kabar itu. Setelah dijelaskan, akhirnya semua urusan bisa jernih kembali dan terkumpul sumbangan sebesar Rp 30-an juta.
Biaya itu untuk pengobatan Dimas dan menutupi utang kami selama mengobati anak ketiga. Juli 2011, biaya hasil sumbangan itu pun habis tak tersisa. Akhirnya, pengobatan Dimas terpaksa terhenti hingga saat ini. Kemoterapi yang dijalani Dimas tak lagi bisa kami lakukan karena kami sudah tak ada biaya lagi.
Sekali kemoterapi untuk bayar obat, ongkos ke RS, makan, dan kamar saja bisa habis sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 4 juta. Dengan kemoterapi, diameter bengkak di paha Dimas memang jadi mengecil, hingga 36 sentimeter. Kami sebenarnya sangat berharap bisa meneruskan pengobatan itu, tapi bagaimana?
Edwin Yusman F / bersambung
KOMENTAR