Di usia yang masih 18 tahun, nasib memaksaku mengalami tragedi yang sama sekali tak pernah kuinginkan. Aku terseret pusaran kasus kriminal yang dilakukan pacarku sendiri. Belum genap setahun, masa kuliah yang baru kujalani pun harus terhenti. Cita-cita dan keinginanku untuk aktif di organisasi bela diri dan klub drama kampus pun harus pupus seketika.
Semua berawal saat aku berkenalan dengan YBR (18). Kakak iparku, C, yang mengenalkan aku dengannya. Pertama berjumpa, kesan lelaki ini sangat baik dan penuh perhatian sampai-sampai ia membuatku terpesona. Tak ada perilaku yang mencurigakan dari dirinya. Tampilan fisiknya meyakinkan, meski di tangan kirinya terdapat bekas tato. Aku tak ingin berprasangka macam-macam. Atau memang aku yang begitu lugu? Begitu terpesonanya hingga selang beberapa waktu, kami pun mulai resmi berpacaran.
Layaknya hubungan asmara yang sudah bukan lagi cinta monyet, aku memperkenalkan YBR kepada Bapak di rumah. Namun, beliau tak terkesan dengan kehadiran YBR. Singkat kata, ada yang membuat Bapak tak suka aku pacaran dengannya. Padahal, menurutku, YBR bisa menjadi lelaki yang diandalkan, meski dia tidak kuliah dan aku tak tahu persis apa pekerjaannya. Yang jelas, dia selalu mengabulkan apa yang aku minta.
Teman-temannya juga baik kepadaku. Begitu tahu aku mengidap kanker payudara, mereka sukarela patungan mengumpulkan uang untuk membayar biaya pengobatanku yang tak murah.
Meski tak disetujui oleh Bapak, aku tetap melanjutkan hubunganku dengan YBR. Aku merasa mendapat kasih sayang yang melimpah darinya. Di rumah, aku merasa tak terlalu mendapat kasih sayang. Orangtuaku berpisah sejak aku SMP. Karena tak lagi bisa tinggal serumah, Ibu pulang ke rumah keluarganya di Padang. Aku sempat ikut Ibu. Tapi tak lama.
Setamat SMU, aku kembali ke Jakarta. Alasannya, orangtua memintaku untuk kuliah di Jakarta. Aku pun pilih menekuni bidang ilmu Komputer Akuntasi di sebuah universitas swasta. Meski agak sulit, aku berharap bisa mapan bekerja demi masa depanku nanti. Selanjutnya, Bapak pun menikah lagi. Aku yang terbiasa tinggal berdua dengan kakak perempuan, kini memiliki adik tiri perempuan, anak dari istri Bapak yang sekarang.
Ya, meski begitu, kujalani saja hari-hari seperti biasanya di rumah Bapak. Tiap berangkat kuliah, kadang Bapak mengantar dan menjemputku ke kampus. Tapi semenjak aku memiliki YBR, aku selalu bersamanya. Pergi dan pulang kuliah selalu ditemani pacarku. Padahal, tempat tinggalnya cukup jauh dari rumahku. Meski begitu, selama berpacaran dengan YBR, tak ada perubahan berarti pada diriku. Aku tetap anak rumahan yang tidak pernah neko-neko. Hubunganku dengan YBR kujalani dengan normal.
Dua bulan berpacaran, Selasa (13/12), YBR menjemputku ke rumah. Selepas Maghrib aku diajaknya jalan-jalan. Aku pergi diam-diam tanpa seizin Bapak. Pokoknya aku ingin ikut dia pergi. YBR bilang, ingin menunjukkan kontrakannya yang baru di daerah Rawadas, Pondok Kopi (Jaktim). Tiba di sana, sudah ada teman-temannya yang kukenal dan biasa berkumpul bersama YBR.
Menjelang tengah malam, aku diantar pulang ke rumah oleh mereka. Kami naik angkot M-26 jurusan Kampung Melayu-Bekasi. Aku tidak curiga. Juga tak ingin banyak bertanya. Karena sebelumnya aku mengkonsumsi obat penghilang rasa sakit, badanku pun terasa lemas.
KOMENTAR