Siang itu, tiga penyiar telah bersiap menghadap mikrofon masing-masing. Anang Sapuan, yang memandu acara hari itu melempar topik tentang kesehatan. Topik itu oleh Rehana dan Cui Lan Seng dikembangkan seraya membahas beragam persoalan, dari soal imunisasi balita sampai KB. Suasana siaran terasa hidup. Di tengah keseruan si penyiar cuap-cuap, telepon dari para pendengar datang silih berganti. Mereka ikut mengomentari topik yang tengah perbincangkan.
Itulah sepenggal gambaran yang terjadi di studio Rakom Bung Tomo (BT), di Gedung Juang 45 Banyuwangi. Meski ruang siarannya hanya seluas 3x4 meter dan terlihat sederhana, namun materi siarannya terkesan berkualitas. Yang membuat suasana siaran menjadi hidup, ketiga penyiarnya amat menguasai topik yang dibahas, sekaligus sangat interaktif dengan para pendengarnya.
Rehana yang bernama asli Mislatin, dengan gaya kenesnya bersiaran menggunakan Bahasa Osing, sehingga membuat orang gemas mendengarnya. Sementara Cui Lan Seng yang memiliki nama asli Mahmudi, tak mau kalah dengan melemparkan banyolan-banyolan khas berbahasa Jawa. Demikian pula dengan Anang Sapuan, pemilik nama asli Windoyo Nurhadi, yang sekaligus merupakan "bintang"nya Rakom BT. Suaranya terdengar menggelagar, sangat berwibawa.
Melihat dari dekat dapur Rakom BT memang tak ada bedanya dengan radio komersil pada umumnya. Perangkat maupun suasanananya pun sama. Perbedaannya hanya terletak pada misinya saja. Rakom adalah radio berbasis pemberdayaan masyarakat, dari dan untuk komunitas. Radio yang bersifat nirlaba itu oleh pemerintah jarak jangkau siarnya dibatasi, tidak seluas radio komersial.
Kendati bersifat nirlaba, keberadaan Rakom BT tak bisa dianggap sembarangan. Secara kualitas, penyiarnya pun tidak kalah dengan penyiar radio komersil. Tata bahasa yang digunakan, intonasi suara penyiar saat berbicara yang selalu terjaga, kemampuan mengolah bahasa, semua begitu tertata apik. "Meski rakom berifat nirlaba, sebelum mereka jadi penyiar kami adakan pelatihan dulu. Biar kualitas siarannya jadi bagus, sehingga tidak terkesan asal omong saja," tegas Aguk Wahyu Nuryadi, satu di antara lima pendiri Rakom BT kepada NOVA.
Karena memiliki kualitas siaran yang bagus, Rakom BT pernah terpilih sebagai rakom terbaik tingkat nasional. Dan beberapa bulan lalu meraih juara tiga penghargaan yang diberikan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jatim (KPID Award), sekaligus sebagai satu-satunya radio komunitas yang berhasil mengalahkan radio komersial.
Menurut Aguk, Rakom BT didirikan pada 20 Mei 2004 oleh lima orang termasuk dirinya, yakni Nur Prasetyo, Edy Bakti, Teguh Karyono, dan Cholilah. Kelimanya berasal dari beragam latar belakang, ada yang mantan wartawan juga pekerja LSM. Tujuan mendirikan rakom, karena radio dianggap sebagai sarana yang paling pas untuk menyampikan informasi kepada masyarakat.
"Kami berlima patungan beli alat pamancar bekas yang sederhana. Awalnya, lokasinya belum di Gedung Juang, tapi menumpang di rumah teman," jelas Aguk seraya mengatakan, misi Rakom BT adalah mengobarkan rasa nasionalisme dan karakter bangsa, sesuai namanya.
Oleh karena membawa misi yang begitu agung, Rakom BT tak mau sembarangan mengisi materi siarannya. Semua siaran harus memiliki nilai edukasi bagi masyarakat. Bahkan, soal pemutaran lagu pun tidak sembarangan. "Misalnya lagu dangdut yang syairnya menyiratkan pornografi, itu dilarang diputar," imbuh Aguk yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium Majelis Anggota Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) wilayah Jatim.
Yang unik, Rakom BT diisi oleh sejumlah penyiar yang loyal. Yang bersedia meluangkan waktu siaran tanpa sepeserpun dibayar, bahkan terkadang bila ada peralatan yang rusak, di antara mereka harus rela ikut mengeluarkan uang pribadinya untuk melakukan perbaikan.
Penyiarnya pun berasal dari beragam profesi. Rehana atau Mislatin adalah karyawan honorer Puskemas, sementara Cui Lan Seng atau Mahmudi adalah tukang patri keliling. Dan Windoyo Nurhadi adalah seorang tunanetra yang memiliki bakat luar biasa. Ia pun dikenal sebagai guru vokal dan guru musik yang memiliki usaha sampingan kecil-kecilan menyewakan sound system.
Mislatin mengaku sangat bangga bisa menjadi penyiar Rakom BT. Pekerjaan itu sebagai bentuk aktualisasi diri sekaligus menambah tali persaudaraan. Dan yang lebih penting lagi, ia bisa memberikan informasi positif kepada masyarakat sesuai kapasitas yang ia miliki. Pekerjaannya sebagai karyawan honorer Puskesmas Singotrunan Banyuwangi, yang sudah 15 tahun dijalaninya membuat ia cukup mengerti mengenai topik kesehatan masyarakat. "Makanya, pas siaran dengan topik kesehatan saya lebih mengerti, soalnya itu pekerjaan saya," imbuh ibu tiga anak yang mengaku sangat rindu cuap-cuap bila sedang off siaran.
Yang tak kalah menarik adalah kisah Cui Lan Seng. Pria berusia 75 tahun itu sehari-harinya bekerja sebagai tukang tambal perkakas dapur yang bocor (tukang patri) keliling. Dengan kemampuan Bahasa Jawa serta modal suara yang bagus, pendengarnya tak akan mengira bila pekerjaan sehari-harinya ke luar-masuk kampung sebagai tukang reparasi peralatan dapur. "Jadi penyiar, buat saya jadi hiburan. Kalau pas hari siaran, saya rela libur jadi tukang patri demi siaran," imbuh Mahmudi yang dalam seminggu mendapat dua kali giliran siaran.
Sementara Windoyo merupakan salah satu penyiar yang menjadi andalan Rakom BT. Ia adalah "otak"nya Rakom BT. Meski tunanetra, namun tak mengurangi kehebatannya. Hampir semua siaran, terutama pada jam siaran langsung, dialah yang mengatur semuanya, termasuk soal teknis. "Saat mengoperasikan komputer atau ponsel, dia pakai software khusus yang bisa mengeluarkan bunyi sebagai petunjuk," ujar Aguk. Di Rakom BT, selain Windoyo, ada tiga penyiar tunatera lainnya, yakni Imam, Alex Paijo, dan Haryanto.
Di Rakom BT pula Windoyo menemukan pedamping hidupnya. Wanita cantik bernama Indah Catur Cahyaningtyas, yang sehari-hari bertugas sebagai koordinator liputan di Rakom BT. Karena kehebatannya itu, Windoyo yang kini tengah menanti kehadiran buah hatinya bersama sang istri, seringkali menjadi narasumber Radio Nederlands saat membahas topik orang-orang berkebutuhan khusus.
Windoyo sendiri sangat gembira bisa ambil bagian dan menjadi penyiar Rakom BT, sebab paling tidak saat siaran ia bisa menyuarakan aspiarasi sekaligus memberdayakan orang-orang berkebutuhan khusus seperti dirinya. "Saya ingin mengedukasi masyarakat bahwa orang tunanetra itu kemampuannya tidak hanya sebagai tukang pijat saja, tapi bisa diberdayakan di bidang lain," papar Windoyo.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR