Saat mengandung Rafi sekitar 10 tahun silam, aku tak menyangka akan diberi cobaan yang begitu berat. Aku terinfeksi virus Rubella di trimester pertama kehamilanku. Menurut dokter, virus ini membuat anakku berisiko lahir cacat.
Profesor Sudigdo yang menanganiku sejak awal kehamilan lalu memberiku opsi, apakah ingin meneruskan atau menghentikan kehamilanku. Jika memilih untuk meneruskan, akan ada risiko yang harus kutanggung. Katanya, jika anakku lahir nanti, ada kemungkinan terganggu penglihatan (termasuk risiko katarak), pendengaran, atau jantung. Gangguan bisa salah satu atau malah komplikasi. Ia lalu memberiku waktu tiga hari untuk berpikir.
Aku sadar betul risiko ini bakal ditanggung anakku seumur hidup, namun aku menguatkan hati untuk tetap meneruskan kehamilan. Pasalnya, aku punya masa lalu yang membuatku sulit memiliki anak.
Ya, saat lajang aku pernah mengalami musibah yang membuat tulangku mengimpit rahim. Jika kini aku bisa hamil, ini merupakan sebuah keajaiban. Maka keputusanku pun bulat. Alhamdulillah suamiku, Mohamad Ridwan (41), dan seluruh keluarga mendukung. Jika tidak, mungkin aku tidak akan sebahagia seperti sekarang.
Ujian 10 Balon
Setelah membuat keputusan, bukan berarti segalanya bisa kujalani dengan mudah. Setiap hari aku harus mengonsumsi sekitar 15 tablet suplemen untuk meminimalisasi risiko kecacatan anakku. Kadang aku lelah meminumnya, namun suamiku terus mengingatkan dan menyemangatiku.
Dan, hari bahagia itu tiba di tanggal 20 Juli 2002. Aku melahirkan Rafi di RS Medistra Jakarta setelah melewati proses persalinan yang memakan waktu hingga 12 jam. Kami beri dia nama Rafi Abdurrahman Ridwan. Rasanya sungguh luar biasa saat pertama kali mendekap Rafi, meski berbagai pertanyaan terus berkecamuk di dadaku. Apa yang akan terjadi pada anakku nanti? Apakah dia akan menderita gangguan penglihatan, pendengaran, atau jantung?
Rasa waswas ini makin menjadi saat di usia 3 bulan Rafi belum fokus penglihatannya. Setiap kali kami melayangkan benda di depan matanya, Rafi tak merespons. Tak putus asa, aku dan suami mencoba memberikan terapi alam. Kami kerap membawanya ke Kebun Raya Bogor, berharap nuansa hijau dari alam sanggup membuka cakrawala anakku. Kami juga membawa Rafi ke berbagai dokter spesialis mata di seantero Jakarta.
Tak pernah putus aku berdoa agar Tuhan berbaik hati memberi anakku penglihatan yang baik. Bagiku, penglihatan adalah jendela dunia. Kalaupun dia harus mengalami kekurangan, aku berharap bukan pada penglihatannya. Alhamdulillah, di usia 4 bulan, dokter mata menyatakan penglihatan Rafi baik-baik saja. Rafi bisa melihat walaupun hingga 8 bulan ia terus-menerus belekan.
Lolos dari risiko gangguan penglihatan, aku dan suami yang penasaran ingin menguji pendengaran Rafi. Suatu ketika, sepulang kerja kami membeli 10 buah balon. Saat Rafi pulas tertidur, kami pecahkan balon-balon itu satu per satu di dekatnya. Hingga balon yang ke-10 pecah, Rafi tetap pulas.
Duh, tak terbayang pedihnya hatiku saat itu. Entah apa yang kala itu dirasakan suamiku. Yang jelas, karena sejak hamil kami sudah mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan, kami bertekad sama-sama menghadapi semua ini.Menginjak masa kanak-kanak, suatu kali Rafi bertanya padaku, "Mama, suara itu seperti apa, sih?" Miris aku menjawab, seperti warna-warni yang melengkapi pemandangan. Syukurlah, Rafi mudah menerima penjelasanku.
Sejak itu Rafi jatuh cinta pada warna-warna yang indah. Ia paling suka ikan hias. Jika berprestasi di sekolah, ia selalu minta dibelikan ikan hias. Kesukaannya pada ikan hias ini kemudian menjadi pintu menuju dunia fashion yang kini digelutinya. Karena suka ikan hias, Rafi juga suka dengan film kartun Ariel The Mermaid. Sejak usia 3 tahun, ia suka menggambar ikan duyung yang mengenakan pakaian indah. Setahun kemudian, Rafi mulai bisa menggambar berbagai baju. Ia mulai mendesain kebaya, busana muslim, dan gaun.
Sadar dengan kondisi Rafi yang berkebutuhan khusus, aku tak pernah menuntutnya berkembang seperti anak-anak kebanyakan. Terlebih untuk urusan akademis. Asal ia bisa membaca dan menulis, itu sudah cukup bagiku. Lebih bagus bila dia bisa punya keahlian khusus yang juga berguna bagi orang lain.
Untunglah, Rafi anak yang bersemangat dan rasa ingin tahunya besar. Ia suka mengeksplorasi berbagai bidang. Selain menggambar, Rafi juga suka memasak dan memotret. Kubiarkan saja Rafi mempelajari berbagai hal. Pikirku, ini bisa menjadi modal untuk masa depannya.
Saat usia Rafi 7 tahun, ia terpaksa berhenti sekolah karena suatu penyakit. Tiap kecapekan, dia mimisan. Setelah berkonsultasi dengan dokter, Rafi harus istirahat di rumah dan berhenti sekolah. Agar tak bosan, aku dan suami sepakat berlangganan saluran televisi berbayar. Sekitar dua tahun lamanya Rafi 'cuti' sekolah.
Ternyata di masa istirahat ini Rafi justru sangat produktif menghasilkan karya. Ia banyak menggambar motif batik dan desain baju. Kecintaanya pada fashion memang semakin menjadi-jadi setelah kerap melihat saluran Fashion TV. Aku pun selalu membelikan majalah fashion yang ia bolak-balik dengan bersemangat setiap hari.
Suatu kali, Rafi membaca artikel tentang pergelaran busana di majalah. Ia bertanya kepadaku, bagaimana caranya agar bisa ikut fashion show seperti itu? Wah, terang saja aku bingung bagaimana menjawabnya. Aku katakan padanya, "Kita enggak bisa asal ikut fashion show." Rafi menangis. Tangisan Rafi yang menyayat hati membuatku bertekad, aku harus mencari cara agar Rafi bisa terlibat dalam fashion show.
April 2011, Rafi kuikutkan lomba I Got Talent yang diadakan oleh I-Hear Foundation, sebuah yayasan yang didirikan oleh orangtua dan keluarga anak-anak dengan masalah pendengaran. Dalam lomba itu Rafi mendemonstrasikan kemampuannya mendesain baju. Tak disangka, ia keluar sebagai juara 1. Padahal, semua jurinya dari luar negeri. Bangganya aku! Kemenangannya ini kemudian diliput sebuah media berbahasa asing. Belakangan, artikel ini membawa Rafi kepada desainer Barli Asmara.
Laili Damayanti / bersambung
KOMENTAR