Nama Budi Susanto makin dikenal sejak merancang sejumlah kebaya untuk dipakai putri bungsu Sultan Hamengkubuwono X GKR Bendara dan kakak-kakaknya pada prosesi acara adat pernikahan agung di Kraton Yogyakarta, Oktober lalu. Kebaya tangkeban asli keraton diberinya sulaman payet dan bordir yang indah. Tak hanya itu, kemahiranannya dalam tata rias juga makin membuat putri-putri Keraton Yogyakarta tampil jelita di hari besar itu.
Sebelum namanya melambung, Budi mengawali kariernya sejak tahun 1981. Ketika itu, Budi memutuskan hijrah ke Yogyakarta selepas dari SMA. Tujuan pertama meninggalkan Kudus, kota kelahirannya, adalah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pilihannya jatuh ke Fakultas Tarbiyah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, yang sekarang sudah berganti nama menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga.
Budi yang lahir dan besar di tengah lingkungan yang sarat nilai-nilai agama, awalnya tidak memperoleh restu untuk menjalani aktivitas di dunia kecantikan dari orangtuanya. "Orangtua saya tidak mengizinkan. Karena pada zaman dulu, kan, masih banyak orangtua yang enggak suka kalau anak laki-laki aktif di dunia kecantikan," jelas pria kelahiran 20 Agustus 1961.
Namun, lantaran sudah kadung mencintai dunia seni dekorasi wajah, Budi bertekad bulat menetapkan langkahnya.
Kendati demikian, bungsu dari enam bersaudara ini senantiasa menjadikan ayah dan ibunya, Solichin dan Siti Aminah, sebagai inspirator dalam kemajuan kehidupan kariernya. "Didikan yang saya terima sejak kecil sangat berpengaruh dalam kehidupan saya di kemudian hari. Orangtua saya dulu mengajarkan ke semua anaknya, kalau mengerjakan tugas harus sampai selesai. Jika belum selesai, belum bisa lepas dari tanggung jawab. Akhirnya, setelah saya besar, hal itu sudah menjadi kebiasaan," kenangnya.
Budi pun mengakui, orangtuanya memiliki sistem pengasuhan yang berbeda dari orangtua pada umumnya. Kedua orangtuanya menekankan untuk selalu menyelesaikan tugas sekolah dan rumah terlebih dahulu, sebelum diizinkan bermain. Meski terasa berat melakoni kedisiplinan cukup tinggi di kala bocah, beranjak dewasa justru hasil didikan itu memberikan hikmah bahwa bekerja bukan suatu keharusan, melainkan menjadi kebiasaan. "Apalagi yang saya kerjakan saat ini bukan sesuatu yang tidak saya senangi. Jadi saya selalu merasa enjoy."
Perjuangan Budi untuk mencapai bidang pendidikan dan pekerjaan yang berhasil baik menjadi semakin nyata di Yogyakarta. Jalannya pun mulai terbuka ketika ia memperoleh tawaran pekerjaan paruh waktu sebagai kapster di Salon Hanna, Jl. Taman Siswa. Pada tahun 1981 hingga 1983, selama bekerja sebagai kapster, Budi menerima honor berkisar antara Rp 50 ribu hingga 100 ribu. Honor itu, menurut Budi, lebih banyak ia gunakan untuk mencari hiburan layaknya anak muda pada zamannya.
Namun, ia teringat satu pengalaman yang menjadi pelajaran berharga buatnya ketika masih menjadi kapster. "Di suatu pagi, di luar jam kerja, saya lupa punya janji dengan tamu. Akhirnya dia marah-marah karena saya datang telat. Peristiwa itu menjadi guru paling berpengaruh buat diri saya, karena setelah itu saya jadi sangat menjaga janji dengan para tamu saya."
Tak berhenti sampai di situ, setelah merasa cukup lama menjadi kapster dan mendapat ilmu selama bekerja di salon, Budi pun tergerak untuk lebih mengembangkan diri dengan berniat membuka salon sendiri. Untuk merealisasikan harapannya, ia menjual sepeda motornya. Hasil penjualan sebesar Rp 450 ribu ia jadikan modal mengontrak rumah untuk dijadikan salon sekaligus tempat tinggalnya.
"Jadi, di awal membangun usaha salon saya harus berkorban banyak waktu untuk bersenang-senang. Bayangkan saja, saya selalu bangun tidur setiap pukul 04.00. Bersih-bersih dan menyiapkan kebutuhan salon. Setelah karyawan datang, baru saya pergi kuliah. Sepulang kuliah, saya juga kerja di salon," kisah Budi yang ketika itu sudah dibantu dua orang karyawan.
KOMENTAR