Karena usia Jamiri masih 19 tahun, a dia menggunakan paspor ayahnya untuk berangkat ke Yaman. " Syukurlah untuk uang sekolah dia dapat beasiswa tapi untuk biaya transportasi ke Yaman, biaya sendiri, kami terpaksa harus menjual tanah seluas 7 hektar,dengan rincian 1 hektar 400 meter."
Setelah di Yaman, Jamiri sering short message sevice (sms,red) pada keluarganya. " Dia jarang telepon, katanya kalau telepon pulsanya membengkak. Lebih baik sms saja, tapi kadang sms pun Jamiri tak sempat.Isi sms nya kebanyakan menyuruh ortu dan kakak-kakaknya jangan tinggalkan salat."
Sebenarnya,kata Saminah, anak bungsunya itu sudah hampir menyelesaikan sekolahnya disana. " Insya Allah bulan Januari tahun depan dia sudah balik ke Aceh Tamiang. Katanya, urusan sekolahnya bentar lagi sudah beres. Kalau sudah balik lagi ke kampung halaman dia berencana ingin jadi Dai'. Apalagi, rencananya Januari tahun depan dia mau meminang gadis pujaannya. Tapi, pihak keluarga berharap, dia pulang saja dulu ke kampung baru dibicarakan perihal perkawinan itu," ujar Samirah yang terus didampingi suaminya. "Kami dua-duanya merestui kepergiannya ke Yaman untuk menuntut ilmu lebih tinggi lagi."
Belum lagi tercapai cita-citanya, musibah kecelakaan itu terjadi. "Rasanya hancur hati saya ini menghadapinya. Anak yang kami bangga-banggakan di dalam keluarga harus kehilangan dengan cara tragis seperti itu. Pupus sudah harapan kami, dia yang sangat kami harapkan dapat melindungi orang tuanya dan bisa mengangkat derajat kami kelak," ujar Saminah menjelaskan selama berada di kampungnya Jamiri selalu ikut pengajian.
Debbi Safinaz
KOMENTAR