Sentra kerajinan kayu lainnya terdapat di wilayah Senenan, Jepara. "Di sini pusat relief. Ada 37 perajin dengan tenaga ukir sekitar 300-an orang," kata Sutrisno (40), ketua paguyuban sentra relief Senenan. "Oleh Pemda, Senenan sudah ditetapkan sebagai sentra relief. Pembentukan sentra ini untuk lebih mengenalkan Senenan sebagai salah satu penghasil ukir relief yang sudah tersebar ke berbagai negara."
Sutrisno yang sudah belajar ukir sejak umur 9 tahun mengatakan, "Seni relief agak berbeda dengan ukir pada umumnya. Tingkat kesulitannya lebih tinggi. Relief mengandung hampir semua unsur seni rupa. Biasanya, sih, untuk hiasan dinding. Motif gambarnya bermacam-macam. Mulai dari pemandangan, kehidupan sehari-hari dan peristiwa keagamaan. Ukir biasa, temanya banyak ke flora dan fauna," terang Sutrisno.
Sesuai dengan perkembangan dan permintaan, relief juga bisa diterapkan di furnitur. Misalnya saja untuk meja yang berkaca. "Selain itu, bisa juga diterapkan ke macam-macam furnitur," jelas Sutrisno yang lebih suka membuat relief peristiwa keagamaan. Untuk gambar, "Harganya bermacam-macam tergantung ukuran. Ada yang Rp 2 juta-an, bahkan sampai belasan juta," lanjut Sutrisno.
Menurut alumni ISI ini, seperti daerah lainnya, relief juga tengah merangkak kembali setelah lewat masa booming."Makanya kami membentuk paguyuban untuk menjawab persoalan bersama-sama. Salah satu caranya adalah menjaga kualitas. Termasuk mengikuti keinginan pasar. Misalnya saja untuk pasar luar negeri, mereka suka yang terlihat antik ," kata Sutrisno yang memulai usaha dan bekerja sama dengan sejumlah perajin.
Sebagai pusat relief, lanjut Sutrisno, Desa Senenan kerap dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah untuk belajar relief. "Saya banyak mengajar. Ada yang datang dari Papua, Medan, Samarinda, Manado, dan lainnya," tutur Sutrisno seraya mengatakan, usia budaya ukir di kotanya sudah berlangsung sangat lama. "Ukiran Jepara sudah eksis sejak tahun 1.500. Buktinya ada di ornamen ukir di Masjid Mantingan."
Lain lagi keunikan Desa Mulyoharjo, Kecamatan Jepara. Di sana merupakan sentra kerajinan patung dan ukir. "Patung sebagai brand. Ukiran lain juga dikerjakan perajin di sini. Ini untuk memetakan sentra kerajinan. Nah, perajin patung di sini juga bermacam-macam. Ada yang membuat patung kecil sampai ukuran raksasa. Ada patung binatang, mainan dakon, tempat tisu, wadah pensil, perahu, jam dinding, dan seterusnya," kata Legiman Arya (32), salah satu tokoh perajin.
Legiman mengisahkan, semula ia belajar seni membuat patung ke Bali. Ketika pulang ke kampung halaman, ia memadukan unsur Bali dan seni ukir Jepara. Geliat kerajinan patung makin tumbuh di era tahun 1998-1999. "Semula, orang kenal seni patung hanya dari Bali. Lama-kelamaan orang paham, Jepara juga ada seni membuat patung. Setelah makin menggeliat, Pemda menjadikan kawasan ini menjadi sentra kerajinan patung."
Dengan beragamnya kreasi patung di Mulyoharjo, pasar juga mudah memilih sesuai keinginan. "Selain belanja, pengunjung bisa juga menyaksikan saat para perajin membuat karya. Tempat usaha memang banyak yang jadi satu dengan bengkel kerja," kata Legiman.
Menurut Legiman, belakangan ini ia fokus membuat patung ukuran besar. Sebagian karyanya untuk konsumsi ekspor. "Untuk seni patung, banyak pesanan datang dari Cina. Oh ya, pasar seni patung memang untuk ekspor, perbandingannya 60:40. Belakangan saya paham, masyarakat Cina punya pandangan bahwa seseorang dikatakan mapan bila sudah punya koleksi patung kayu, kalau bisa yang utuh. Mungkin karena pengaruh budaya. Kayu, kan, merupakan salah satu unsur benda yang kabarnya mengandung unsur rezeki. Mereka cenderung mengoleksi patung kayu."
Dengan omset usaha sampai puluhan juta rupiah. Legiman tiap bulan butuh kayu sampai 15 kubik. "Untuk patung, kami salah satunya memakai kayu trembesi. Kami mendatangkan dari luar kota seperti Klaten dan Magelang."
Henry Ismono
KOMENTAR