Bedjo Rahardjo PERINTIS GARDEN
Memasuki Desa Sinanggul, Mlonggo, Jepara, di sepanjang kanan-kiri jalan, terdapat deretan perajin mebel dengan spesialis - warga menyebutnya - garden. "Ini jenis mebel untuk di luar ruangan, misalnya saja meja dan kursi taman," tutur Bedjo Rahardjo (45), salah satu perajin.
Bedjo bisa disebut sebagai perintis usaha ini di daerahnya. Ia mulai merintis jadi perajin tahun 90-an, saat desanya masih terasa begitu sunyi. Jalan belum beraspal, telepon belum ada, listrik pun belum masuk. "Tempat tinggal saya, bisa dikatakan masih wilayah pedalaman. Mlonggo memang cukup jauh dari pusat kota di Jepara," kata Bedjo.
Sebelumnya, Bedjo adalah seorang karyawan swasta di Semarang. Setelah beberapa tahun bekerja, Bedjo berpikiran untuk bekerja sendiri. "Saya, kok, bekerja untuk orang lain terus. Keuntungannya tentu lebih banyak dinikmati si pemilik. Sekeras apa pun saya bekerja, tetap saja saya hanya terima gaji tiap bulan," kata Bedjo yang lalu mengundurkan diri pada 2001.
Bedjo pun pulang kampung. Ia ingin berusaha di bidang kayu, yang selama ini memang tak terpisahkan dengan masyarakat Jepara. Berbekal semangat untuk maju, ia menjalin banyak relasi. Termasuk cari order dari teman-temannya yang sudah lebih dulu berkecimpung di dunia furnitur. Bedjo makin mengenali usaha mebel, sampai akhirnya ia punya relasi orang Cirebon. "Saya diminta membantu pengerjaan barang-barang untuk garden," kenang Bedjo.
Ketika usahanya makin berkembang, Bedjo mengajak rekan-rekan warga desanya untuk melakukan usaha yang sama. "Saya ajak teman-teman untuk maju bareng memulai usaha. Pasar masih sangat luas. Tumbuh satu demi satu, semuanya di bidang garden. Makin banyak pengusaha, market juga lebih cepat berkembang," papar Bedjo.
Dugaan Bedjo tepat. Ketika orang mencari mebel garden, masyarakat segera merujuk ke Desa Sinanggul. Pemda setempat pun menetapkan Desa Sinanggul sebagai sentra kerajinan garden. Fasilitas jalan, listrik, telepon lalu masuk ke desanya. Puncaknya ketika krismon melanda, Bedjo dan kawan-kawan perajin justru mendapat keuntungan. Banyak orang asing yang belanja langsung ke Sinanggul. Bedjo pun mendapat buyer dari luar negeri, terutama Jerman dan Belgia. "Order kian meningkat. Kemudian, menjamur usaha garden di desa ini, bahkan sampai ke tetangga desa. Total ada ratusan perajin."
Tidak hanya Sinanggul, saat itu hampir semua pelaku usaha furnitur mengalami masa booming. Sayang, kata Bedjo, ada beberapa perajin yang tidak memperhitungkan kualitas demi memenuhi banyaknya pesanan. Kualitas buruk, pada akhirnya berimbas buruk. "Bahkan, begitu kecewanya, ada buyer yang enggak mau mendengar lagi kata Jepara. Sekarang, kami mulai merangkak lagi," tutur Bedjo yang punya 20-an karyawan. Bedjo yang punya gudang begitu luas, juga secara berkala masih kirim barang untuk ekspor. "Mudah-mudahanan pasar bisa pulih seperti hari kemarin," harap Bedjo.
Sepanjang sekitar 6 kilo di kawasan Tahunan, Jepara, berderet showroom mebel. Jumlahnya sampai ratusan. Masyarakat setempat menyebut, inilah showroom mebel terpanjang di dunia. Tidak hanya di Tahunan, ruang pajang juga melebar ke berbagai jalan lain, memasuki wilayah pusat kota Jepara. Tak jauh dari alun-alun Jepara, Erlisa Sulasmi (38) alias Lisa juga menekuni usaha mebel. "Saya lebih banyak mengerjakan pesanan untuk mebel di dalam ruangan. Mulai meja kursi, lemari, meja makan dan lainnya," papar Lisa.
Tak jauh dari rumah Lisa, ada tempat semacam bengkel kerja. Ada beberapa karyawan tengah bekerja. "Mereka melakukan finishing. Mulai dari mengampelas sampai nanti ke pelitur. Saya bekerja sama dengan teman-teman perajin lain. Saya ambil mebel dari mereka, kemudian saya memproses lebih lanjut," kisah Lisa.
Sebelum memulai usaha sendiri, Lisa menjadi sekretaris sebuah perusahaan mebel pada tahun 1994. Bukan hanya urusan kesekretariatan, "Saya dipercaya bos mengerjakan urusan pembukuan sampai berhubungan dengan buyer. Juga mengurus karyawan yang jumlahnya ratusan orang. Pokoknya saya dipercaya melakukan semuanya. Saya jadi banyak belajar."
Ketika banyak pembeli dari berbagai negara Eropa datang ke Jepara, "Saya kerap menjadi guide. Saya antar mereka ke berbagai sentra kerajinan. Ketika saya masih bekerja, orang-orang bule itu minta saya mengatur order mereka. Awalnya masih bisa bagi pekerjaan. Lama-kelamaan saya mengundurkan diri dan fokus pada pembeli luar. Kami bekerja sama. Bahkan, saya pernah disewakan showroom yang cukup luas," kata Lisa yang bermitra dengan beberapa perajin.
Tahun 1997-2002, Lisa juga menikmati rezeki booming furniture. "Waktu itu, banyak perajin Jepara yang sukses secara materi. Sungguh luar biasa. Saya melihat ada warga Eropa datang ke mari dengan membawa uang satu kopor dan membelanjakan semua uangnya. Saya juga kerja sama dengan buyer dari Kanada. Mereka punya pasar di negaranya. Setidaknya sebulan sekali saya kirim satu kontainer mebel."
Ketika mebel sudah tidak lagi booming, banyak perajin yang berguguran. Lisa termasuk yang masih bertahan. "Buyer dari luar memang belum seramai dulu. Sekarang, saya konsentrasi menggarap pasar lokal yang makin menggeliat."
Omset usaha Lisa memang menurun dibandingkan masa booming. "Dulu, bisa sampai puluhan juta. Sekarang, sih, tinggal belasan juta," kata Lisa seraya mengatakan, kebanyakan pembelinya datang dari berbagai kota besar. "Mereka tinggal pesan mebel yang disukai. Nanti, saya akan kirimkan. Harganya macam-macam. Mulai dari Rp 2 juta-an sampai belasan juta."
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR