Rabu (26/10) adalah hari kelima kami kehilangan Nisza. Aku dan istri, Susan Kania, (29) baru saja ziarah ke pusaranya yang tak begitu jauh dari rumah kami di Gang Madsari, Jalan Pesantren. Aku memang sudah mengikhlaskan kepergiannya meski tetap ada yang terasa mengganjal di hati. Aku merasa, Nisza pergi antara lain karena pihak rumah sakit (RS) lamban menanganinya.
Hanya sehari Nisza dirawat di RS itu. Persisnya ketika Jumat (21/10) pagi Nisza rewel dan badannya panas. Bersama istri, kami berboncengan ke bidan untuk mengobatinya. Juga sempat ke RS Mitra Kasih untuk periksa laboratorium. Katanya, sih, hasilnya normal. Nisza hanya sakit panas. Tapi, kata bidan, Nisza sebenarnya perlu rawat inap.
Sadar tak punya cukup uang, aku minta dirujuk ke Klinik Handayani. Maklum, aku cuma kerja serabutan tanpa penghasilan tetap. Sayangnya petugas klinik bilang, peralatan di situ kurang lengkap untuk merawat Nisza. Aku disarankan membawa Nisza ke RS Mitra Anugerah Lestari (MAL) di Cimahi. Disertai keluargaku, kami sampai di sana sekitar pukul 14.00, Nisza langsung masuk UGD.
Uang Receh
Baru datang, masalah sudah menghadang. Aku harus membayar Rp 500 ribu untuk pendaftaran, sementara uang yang kubawa saat itu tak lebih dari Rp 200 ribu. Setelah berunding, pihak RS mau menerima uang tersebut. Kami menunggu cukup lama, hingga jam 18.00, baru anakku diinfus tanpa diberi obat. Katanya, menunggu diperiksa dokter jaga yang belum datang.
Hingga menjelang malam, Nisza masih di UGD, belum bisa masuk ruang rawat inap karena aku masih belum bisa menyediakan uang. Sementara Susan menunggu Nisza di UGD, aku pulang untuk mencari dana. Sungguh aku bingung. Keluarga di rumah juga tak ada yang punya uang sebanyak itu.
Nyaris putus asa, aku menengok celengan yang berisi uang logam. Tanpa sempat kuhitung, uang recehan itu kubawa ke RS MAL. "Mbak, aku hanya punya uang receh ini. Tolong anakku bisa masuk ruang rawat inap!" Setelah dihitung, jumlahnya Rp 144 ribu.
Setelah aku ngotot begitu, baru pukul 20.00 Nisza masuk ruang perawatan. Tubuh Nisza masih panas. Ia terus rewel. Dokter jaga yang kami tunggu-tunggu tak kunjung tiba. Hanya ada perawat yang sesekali menengok Nisza.
Sementara itu, Nisza mulai merasa tak nyaman. Dia membolak-balik tubuhnya hingga selang infus bergeser-geser. Mungkin itu yang menyebabkan infus tak lancar. Beberapa kali kupencet bel untuk memanggil perawat agar membantu membetulkan infus. Anehnya, perawat malah bilang, aku dan dan istri saja yang mengatur infus.
Ada Uang,Ada Obat
Malam hari, barulah dokter jaga datang dan mengontrol kondisi Nisza seraya memberi obat penurun panas. Ternyata, Nisza tak bisa menerima obat. Dia langsung muntah. Dokter lalu memberi resep yang harus kutebus. Lagi-lagi aku kebingungan. Uang dari mana untuk menebus resep itu? Aku telepon adikku, menceritakan semua kesulitanku, sekaligus memintanya datang.
Ternyata adikku datang tanpa membawa uang. Setelah berembuk, aku memutuskan untuk bernegosiasi lagi dengan pihak RS. Tanpa pikir panjang, kuserahkan STNK motorku sebagai jaminan. Setelah berdebat cukup lama, Nisza akhirnya diberikan obat berupa selang untuk menyedot isi lambungnya. Kata dokter, lambungnya harus dikuras.
Ternyata harapanku harus pupus. Beberapa saat setelah tindakan itu, Nisza malah kejang-kejang dan matanya mendelik ke atas. Panasnya tinggi sampai 40 dan 41 derajat Celsius. Aku dan istri tentu bingung. Bergantian kami mengompres Nisza, perawat sesekali menengok.
Melihat keadaan Nisza, perawat kembali memanggil dokter jaga. Setelah memeriksa, dokter lagi-lagi memberi resep. Katanya untuk obat kejang dan penurun panas. Buru-buru aku ke apotek sambil membawa resep tanpa tahu harus bagaimana membayarnya.
Sungguh, tak ada sepeser pun uang di saku celanaku. Hartaku yang tersisa hanyalah telepon genggam. Saat petugas apotek menyodorkan obat sambil berujar biayanya Rp 100 ribu, spontan kusodorkan telepon genggam itu. Aku memohon-mohon kepadanya agar menerima HP sebagai pengganti uang. Apa saja yang menempel di tubuhku akan kuberikan asal Nisza bisa mendapatkan obatnya saat itu juga. Namun, petugas menolak. Katanya, ini sudah prosedur RS. "Ada uang, ada obat," katanya. Duh, sakit hatiku mendengarnya.
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR