Taman Suropati Terbuai Alunan Biola
Suasana Taman Suropati, Jakarta Pusat, Minggu pagi itu begitu ramai. Di salah satu bagian taman sekelompok penggemar bersepeda menggelar acara. Ada anak bermain bersama ayahnya, ada lansia berjalan-jalan memutari taman yang teduh. Di antara beragam kegiatan, terdengar alunan gesekan biola yang dimainkan puluhan orang, mulai dari anak-anak, remaja, sampai dewasa. Mereka memainkan lagu dolanan anak, lagu daerah, dan lagu-lagu bertema perjuangan.
"Dulu, taman ini sepi, tidak ada pengunjungnya. Saya senang, sekarang taman sudah ramai. Bisa menjadi alternatif orang berlibur bersama keluarga. Jadi, orang tidak hanya liburan di mal saja," ujar Ages Dwiharso (41). Bapak lima anak asal Jogja ini mesti disebut ketika membicarakan hidupnya Taman Suropati belakangan ini.
Empat tahun lalu, begitu banyak pemikiran berkecamuk di kepalanya. Antara lain, ia prihatin anak-anak Jakarta tak akrab lagi dengan lagu dolanan anak, lagu daerah, dan lagu-lagu bertema perjuangan. Ia juga prihatin dengan minimnya kurikulum pelajaran musik di sekolah. Di sisi lain, "Saya sedih, Taman Suropati tidak ada aktivitasnya," kisahnya.
Ages yang pandai main biola, mengajak beberapa teman untuk main musik gesek di Taman Suropati, memainkan lagu-lagu daerah dan dolanan anak. Awalnya memang tidak ada perhatian publik. Bahkan, Ages ditinggal teman-temannya karena pekerjaannya dianggap sia-sia. "Saya pernah beberapa minggu sendirian saja main musik di taman. Bahkan, sampai bertengkar dengan preman karena mereka merasa terganggu."
Menurut Ages, kala itu, Taman Suropati masih terkesan seram. Ada copet yang tengah membuka hasil usahanya dan preman main kartu sambil menenggak minuman keras. "Sempat keder juga, sih. Sampai beberapa bulan saya adu tahan dengan mereka. Akhirnya mereka tidak lagi mangkal di taman," kata Ages yang juga aktif sebagai pemusik di kelompok Keroncong Tugu. Pemusik yang kerap main di hotel ini tak patah arang main di taman. Pelan-pelan, rupanya ada yang tertarik melihat upayanya. "Awalnya, hanya satu dua orang datang. Lama-kelamaan jadi banyak. Saya lalu mengajari mereka main biola. Termasuk juga banyak teman pengamen yang main di sini."
Tak sekadar main di taman, Ages yang memberi nama kelompoknya Taman Suropati Chambers ini juga pentas di berbagai tempat terhormat. Mulai di foodcourt sebuah mal yang disaksikan 600 orang, sampai gedung kesenian bergengsi seperti di Gedung Kesenian Jakarta dan Taman Ismail Marzuki. "Bahkan, kami pernah diundang main di Istana Negara, mengisi acara Parade Senja. Oh ya, chambers ini sebenarnya berarti musik kamar. Nah, anggap saja taman ini adalah kamar yang luas," paparnya seraya tersenyum.
Ages yang di awal kegiatannya selalu mengenakan baret merah dengan pin Merah Putih ini sempat dipantau kamera CCTV dari rumah Dubes Amerika yang lokasinya berdekatan dengan Taman Suropati. Lama-kelamaan, ia justru mendapat apresiasi. Bahkan, ia sempat mendapat kesempatan berkunjung ke beberapa tempat di Amerika. "Dulu, pernah juga wakil dubes Amerika dan istrinya ke sini, membawakan kue buat anak-anak," tutur alumni SPG Van Lith Muntilan ini.
Kini, sudah lebih dari seratus orang yang berlatih biola bersama Ages. Tentu Ages tak sanggup mengajar sendiri. Ia lalu mengajak teman dan saudaranya, termasuk anaknya, untuk ikut mengajar. Musisi yang pernah beberapa kali main di Belanda bersama Keroncong Tugu ini punya metode latihan sendiri. Uniknya, tiap tingkatan diberi nama yang berbau go green. "Ada kelas bibit, ranting, pohon."
Omong-omong apa menariknya main musik di taman? "Taman Suropati, kan, ditumbuhi pohon-pohon besar yang menghasilkan oksigen. Anak-anak jadi tidak cepat capek belajar di sana. Kalau di ruang ber-AC paling orang hanya tahan dua jam berlatih. Nah, anak-anak bisa lebih dari itu," kata Ages yang senang karena berjasa menghidupkan suasana taman. "Setelah kami beraktivitas di taman, banyak orang yang kemudian berdatangan dan membuat acara di sini. Saya senang sekali."
KOMENTAR