Nadya Salon & Spa Manajemen Konvensional
Sekilas, bentuk bangunan yang terletak di tepi ruas Jalan Caman Raya, Jatibening, Bekasi ini tampak seperti perkantoran. Tapi begitu melongok ke dalam, terhampar sebuah taman asri dan rumah bergaya Bali nan indah. Itulah Nadya Salon & Spa yang memakai konsep taman. "Spa di sini serasa di Bali," ujar salah satu pengunjung.
Pemiliknya, GP Drestaningsih (63), dibantu sang putri, Metty Karuni Devi Pendit (36), memang berasal dari Bali. Jiwa bisnis sang ibu sudah terlihat sejak Metty masih kecil, mulai dari jual kacang dan es mambo yang dititipkan ke warung kecil, hingga bisnis katering. Barulah di tahun 1995, sang ibu melirik bisnis salon. "Ibu, kan, suka ke salon, daripada ke salon orang, mending buka sendiri. Padahal, sebenarnya Ibu tidak paham soal salon. Cuma, Ibu menguasai manajemennya, semuanya learning by doing."
Salon pun dimulai dari garasi rumah, lalu melebar ke dalam rumah dan halaman karena kebutuhan makin banyak. Agar lebih memuaskan pelanggan, Nadya juga membuka kafe. Hingga kini, Nadya berdiri di atas tanah seluas 1.800 m2. Belakangan, Nadya membuka cabang di Jati Warna pada tahun 2006. "Konsepnya salon taman serba hijau, karena Ibu suka tanaman," ujar Metty yang bakal membuka cabang selanjutnya di daerah Jati Murni.
Tren spa, lanjut Metty, selama 16 tahun ini terus meningkat. Dibanding di tempat lain, harga spa di Nadya termasuk murah. Lulur, misalnya, hanya dipatok Rp 35 ribu. Jika memilih paket lengkap, Rp 200 ribu. Sementara bila spa di hotel bisa mencapai Rp 1 juta. "Paket itu terdiri dari lulur, aroma terapi, berendam, manicure, pedicure, bleaching, masker susu atau madu, yang memakan waktu sekitar 3-4 jam. Kadang orang sungkan masuk karena melihat tempatnya mewah, padahal harganya terjangkau."
Bahan-bahan lulur di spa Nadya dibeli sudah jadi lalu diracik dengan minyak aroma dan zaitun. Sedangkan maskernya memakai susu atau madu. "Ibu yang coba-coba resepnya, sampai ketemu yang enak dan bersih. Pegawai tinggal mencampur karena sudah disediakan dalam plastik-plastik kecil. Produk ini belum dijual ke luar, mungkin ke depannya begitu."
Menurut Metty, bisnis yang dilakukan Ibu Pendit, begitu ia biasa dipanggil, masih konvensional. Misalnya, di kasir masih pakai bon dan ditulis tangan, belum pakai komputer. Begitu juga sistem penggajian karyawannya baru tahun ini pakai internet banking. "Biasanya gaji pakai amplop, jadi kalau ada selisih uang harus buka amplop lagi. Padahal karyawannya sudah mencapai 100 orang," kata Metty yang bertugas mengurus karyawan dan gaji.
Sang ibu merasa sudah nyaman dengan cara lama. "Promosi pun dari mulut ke mulut saja, bahkan situs juga belum ada. Kendalanya, karena tidak ada sumber dayanya, paling muncul dari komentar dari FB orang saja. Sebenarnya, kalau diterapkan mungkin bisa lebih besar dari ini."
Karyawan pun ada yang saling menikah di tempat ini. "Mereka beranak pinak di sini, tukang kebun menikah dengan capster. Nah, ruginya kalau liburan semua, pulang kampung seperti bedol desa," papar Metty yang mengaku meraih omzet sekitar Rp 500 jutaan per bulan.
Dalam sehari, Nadya bisa menerima 50 konsumen. Di hari Sabtu dan Minggu, bisa tiga kali lipatnya. "Terhadap pegawai, selalu kami tekankan bisnis ini adalah melayani orang, artinya harus melayani tamu dengan baik, bersih, mementingkan semua orang, dan menciptakan suasana nyaman ke tamu."
Cara mendidik pegawai biasanya dimulai dari cleaning service. Mereka dilatih karyawan lama hingga jadi caspter. "Bisa dibilang kekuatan kami terletak di terapisnya. Kata pelanggan, pijatannya enak. Sampai daki dan kotoran terangkat semua."
Pegawai pun tidak mendapat gaji, tapi fee 25 persen dari omset keseluruhan dalam sebulan. "Bagi pekerja lama yang menguasai seluruh pekerjaan, bisa terima gaji Rp 6,5 juta, di luar tip dari tamu. Kalau orang baru, dapat Rp 1,5 juta, belum termasuk tip dan bonus."
Lalu, berapa modal yang dibutuhkan membuka bisnis serupa? "Modal awal kami Rp 50 juta, mulai dari 10 karyawan. Dibanding sekarang, modal yang dibutuhkan bisa mencapai miliaran," tutur Metty yang tadinya mau membuat konsep ruko agar lebih murah. "Maunya, sih, bikin waralaba, tapi tidak jadi karena ruang gerak di ruko terbatas."
Yang terpenting, menurut Metty, bagi pemula jangan putus asa, selalu yakin pasti akan maju dan berhasil, bersyukur dengan apa yang dimiliki. "Dan menjaga karyawan agar betah dengan memberikan suasana kerja yang nyaman."
Miya Alexa (26) sudah lama senang melakukan spa. "Lama-lama saya ingin ibu-ibu lain merasakan spa, tapi dengan harga terjangkau. Selama ini, kan, spa yang ditawarkan harganya mahal. Baru empat bulan belakangan ini terealisasi," beber sulung dari dua bersaudara ini.
Konsep yang diinginkan Miya sebenarnya tidak terlalu rumit, faktor kepuasan pelanggan jadi tujuan utamanya. "Saat konsep ini terpikirkan 2 tahun lalu, saya langsung membuat akun Twitter bernama @SaungLulur. Pilihannya antara Saung Bali atau Saung Lulur," tutur Miya saat ditemui di Saung Lulur, Jalan Riung Gede Raya, Kompleks Riung Bandung Permai, Bandung.
"Meski belum ada tempat, yang penting sudah ada akunnya. Sekaligus mjadi motivasi buat saya untuk segera merealisasikannya. Tweet pertama saya, 'Segera dibuka Saung Lulur'."
Sambil menunggu, Miya membuat blog Saung Lulur yangberisikan info seputar kecantikan dan manfaat spa. "Semakin sering membagi info, semakin banyak pengunjungnya."
Seorang teman bahkan sudah bertanya lokasinya. "Saya jawab saja belum ada, baru sebatas mimpi. Eh, dia malah menyampaikan keinginannya membantu, kami pun lalu bekerjasama," tukas mantan penyiar radio swasta di Bandung ini.
"Dengan modal patungan sekitar Rp 30 juta, Saung Lulur pun resmi dibuka. Alhamdulillah tanggapan masyarakat bagus. Agar orang datang, daftar harga saya taruh di depan jadi orang enggak takut masuk. Cara itu berhasil, tiap akhir pekan selalu penuh sampai kasihan karyawan saya tidak ada istirahatnya," tutur Miya yang usahanya kini beromzet Rp 10 - 15 juta per bulan.
Apa yang ditawarkan Saung Lulur sebenarnya nyaris sama dengan spa yang sudah ada. "Kami memberikan perawatan, bukan merusak. Jadi tidak ada bleaching atau hair extention. Semua bahan spa pada umumnya kami buat sendiri. Creambath Vanilla, Chocolate dan Strawberry Yogurt merupakan favorit pelanggan," ujar Miya yang menghargai jasanya mulai dari Rp 25 ribu sampai Rp 180 ribu.
Penggunaan produk buatan sendiri adalah jaminan hasil yang ingin dirasakan para pelanggannya. "Semua bahan yang digunakan seperti sayur dan buah sangat terjamin kesegarannya," imbuhnya berpromosi.
Agar pelanggan tak beralih ke spa lain, banyak hal yang dilakukan Miya. Di antaranya peningkatan pelayanan dan servis. "Spa ini khusus perempuan, sehingga privacy sangat terjamin. Karena tempat usaha ini sekaligus tempat tinggal saya dan suami, jika suami pulang sore atau sedang libur, terpaksa dia harus menunggu spa tutup baru bisa masuk rumah. Ha ha ha..."
Untuk terus mengembangkan usaha spa, "Saya juga harus terus belajar. Memang tidak ada latar belakang pendidikan spa, tapi karena senang di-spa dan pernah mengunjungi berbagai tempat spa, lama-lama bisa mengerti. Belajar, kan, bisa dari mana saja," tutur perempuan yang juga sering ajdi MC ini.
Ke depannya, Miya ingin membuka cabang spa di lokasi lain. Meski sudah dikenal dan memiliki banyak pelanggan, Miya tetap mempertahankan konsep spa rumahan. Pasalnya, Miya ingin masyarakat sadar pentingnya perawatan tubuh tak harus selalu mahal. "Banyak juga yang ingin membeli franchise, tapi saya belum berpikir sejauh itu. Sampai saat ini masih dalam tahap belajar. Mungkin nanti kalau sudah ngeletek di bidang ini baru mikir ke situ," ucapnya.
Menjalani usaha seperti ini menurut Miya memiliki beberapa kendala. Salah satunya, jeli memilih karyawan. "Kapster banyak, tapi mencari terapis yang agak susah. Karakter mereka juga berbeda. Pernah ada karyawan mantan karyawan salon. Gaya dan tutur bahasanya sangat berbeda dengan konsep spa. Karena tidak bisa berubah sikap, ya, dengan berat hati harus dikeluarkan."
Nove, Edwin / bersambung
KOMENTAR