Salah satu korban tewas, Kapten Famal Ishak (56), pilot pesawat Casa 212-200 telah dimakamkan Senin (3/10) lalu di TPU Malaka, Pondok Kopi, Jakarta Timur. Puluhan pilot dari Pelita Air dan PT Nusantara Buana Air (NBA) ikut mengantar kepergian Famal. Sesuai permintaan keluarga, Famal dimakamkan di dekat kuburan orangtuanya.
Famal adalah anak ke-4 dari tujuh bersaudara. Pilot kelahiran 5 Februari 1955 ini meninggalkan duka mendalam pada keluarga, terutama sang istri, Noor Aida (54). Ia belum sanggup bercerita apa pun pada wartawan. Begitu pula kedua anaknya, Barry Nashas Ishak (21) dan Taris Fajri Ishak (19).
Mewakili pihak keluarga, Alfian Rizaldy Ishak (26) putra sulung almarhum menuturkan, bahwa sejak ayahnya bekerja di penerbangan, mereka sekeluarga telah menyiapkan mental dengan segala resiko yang terjadi. "Sedari kecil tiap Papa akan pergi terbang, perasaan deg-degan ada terus, kami berdoa jangan sampai kenapa-kenapa. Rasa khawatir dan lega campur aduk tiap kali Papa tugas. Takut, suatu saat ada hal buruk terjadi. Sekarang mungkin sudah suratan takdir beliau pulang ke rumah, tapi, pulang untuk selamanya," ujar Alfian sedih.
Meski masih syok dan kehilangan, Alfian berusaha menenangkan ibu dan kedua adiknya. Ia tak mau terus meratapi kepergian sang papa. "Adik saya yang bungsu, masih terpukul dengan kejadian ini. Begitu pun Mama, meski selalu ditinggal terbang tapi tetap saja rasa kehilangan amat berbekas. Perasaan kami semua sedih sekali, tapi, biar beliau tenang di sana, kami harus kuat, hidup harus jalan terus. Harus melawan kesedihan dengan mental yang dibangun sejak lama."
Karier Famal Ishak di dunia penerbangan memang bukan terbilang baru. Semua dimulai tahun 1979 saat Famal menjadi pekerja group handling (mengurusi penumpang di bandara) untuk maskapai penerbangan Garuda. Lalu tahun 1982 ia pindah ke Pelita Air. Di tahun yang sama pula, Famal menikahi sang istri, Noor Aida yang juga bekerja di Bandara Halim Perdanakusuma. Famal pun mulai bekerja sebagai pramugara VVIP di Pelita Air Service. Salah satunya saat bertugas di pesawat kepresidenan, ia sempat mendampingi alm. Presiden Soeharto berpergian ke luar kota dan luar negeri.
Alfian Rizaldy Ishak (26), putra tertua almarhum menjelaskan, "Tahun 1996 atas keinginan dan biaya sendiri Papa mengikuti pelatihan pilot di Deraya Flying School di Halim. Lulus tahun 1998, Papa lalu jadi co-pilot. Dari Pelita Air beliau di-upgrade hingga menyandang gelar kapten pilot. Selama lima tahun Papa menjadi pilot di Pelita Air."
Famal pun menjadi pilot untuk rute penerbangan printis, bukan komersial. Karena melayani banyak perusahaan tambang, rutenya tersebar di daerah terpencil mulai dari Sulawesi, Kalimantan, Sumatera hingga Indonesia Timur. "November 2010 Papa pensiun, saya tanya pada beliau, 'Pah, apa masih mau terus terbang? Kan, sudah cukup lama di Pelita.' Tapi, beliau dasarnya memang hobi terbang, kondisi kesehatannya juga masih fit. Lalu, beliau terima tawaran temannya masuk PT NBA sebagai pilot senior."
Adik bungsunya, lanjut Alfian, masih kuliah, "Disamping masih ingin cari nafkah, Papa juga sepertinya ingin terus ada kegiatan, makanya menghabiskan karirnya sebagai pilot. Padahal dalam hati, saya lega Papa pensiun. Kalau bisa cepat umur 60 tahun supaya tidak usah terbang lagi dan bisa main sama cucu-cucunya. Tapi, beliau kalau sudah bertekad sulit dilarang. Hingga akhir hayatnya Papa berdedikasi penuh, meninggalnya pun di dalam kokpit pesawat," ujar Alfian berkaca-kaca.
Main Dengan Cucu
Alfian bertemu sang papa sehari sebelum keberangkatan. Famal berangkat ke Medan tanggal 23 September. Sebelumnya Famal baru pulang tanggal 15 September setelah terbang sebulan lebih sejak Agustus. Bahkan, karena armada pilotnya sedikit, ia tak bisa berkumpul dengan keluarganya saat Lebaran. "Beberapa hari sebelum berangkat, Papa dan Mama intens ke rumah saya di Kalideres. Ingin menengok cucu katanya. Eyang kakungnya sudah akrab dengan cucu pertamanya. Habis main petak umpet, anak pertama saya lalu panggil eyangnya, ajak baca buku cerita bergambar sama-sama. Kalau eyangnya pulang, anak saya nangis tidak mau ditinggal. Sedih kalau ingat itu, sekarang eyangnya sudah tidak ada." Alfian yakin Papanya ingin memanfaatkan kesempatan yang ada. "Waktu beliau memang banyak dihabiskan untuk terbang. Hitungan jadwalnya di pekerjaan terakhir, 20 hari terbang, 10 hari kembali pulang ke rumah."
Ade Ryani
KOMENTAR