Saat berada di sana selama 10 hari itu, aku sempat mampir ke Masjid Qhisos di Jeddah. Itulah masjid tempat Umi salat sebelum dihukum pancung. Tak bisa kutahan, tangisku pecah di sana. Terbayang saat terakhir Umi salat sebelum di-qhisos. Ya Allah, apa yang Umi pikirkan saat itu?
Umi menjadi TKW di Arab sejak usianya 40 tahun dengan harapan bisa menyekolahkan anak-anaknya lebih tinggi. Terutama adik-adikku, Epi dan Iwan, agar tak seperti aku yang putus sekolah setelah lulus SMP. Lima tahun pertama bekerja di Madinah, Umi mendapat majikan yang baik dan semua baik-baik saja. Bahkan Umi sempat diberi bonus naik haji di tahun 2003. Aku sempat menelepon majikan Umi yang pertama ini, Pak Muhammad namanya. Beliau pun kaget saat mendengar Umi dihukum pancung. Katanya, rasanya tak mungkin Umi sampai membunuh.
Hal senada juga dikatakan mantan majikan Umi yang di Abha. Ia berujar, Umi kerjanya baik dan bertanggung jawab. Kalau ada waktu luang, Umi habiskan untuk mengaji dan beribadah. Majikan keduanya ini juga sayang sekali pada Umi. Pernah waktu Umi pulang ke Indonesia, dia meneleponku hanya untuk memastikan Umi sudah sampai ke rumah.
Aku jadi membayangkan, apa yang Umi rasakan selama ikut majikannya yang terakhir, Khoiriyah Omar Moh Omar Hilwani. Kata teman Umi, Umi pernah disiram air panas satu panci oleh Omar. Menyesal rasanya kenapa Umi tak pernah cerita. Kalau cerita, kan, bisa saja kami minta Pemerintah untuk memulangkan Umi ke Indonesia.
Tapi, kini Umi sudah tiada. Walaupun katanya hukuman pancung itu membersihkan dari segala dosa, kok, rasanya masih sulit mengikhlaskan. Seandainya saja ada usaha membela dari Pemerintah, mungkin aku sedikit bisa menerima.
Mudah-mudahan Umi tenang di sisi Allah sekarang. Kalau boleh jujur, aku senang Umi sering mendatangiku, meski hanya lewat mimpi. Dalam mimpi itu Umi selalu tersenyum. Namun meski kukejar, Umi tidak mau kuikuti. Aku amat yakin, Umi kini sudah bahagia di surga...
Didi Wahyudi, Konsul dari Konsulat Jendral RI (KJRI) Jeddah untuk Perlindungan WNI, menjawab tuduhan kejanggalan yang ditemui tim investigasi dari Migrant Care dan sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Sipil untuk Advokasi dan Perlindungan TKI. "Supaya semuanya clear. Dalam rombongan 7 orang itu, juga ada dosen IAIN yang mengetahui tentang Hukum Islam. Di Arab, siapa yang salah harus dihukum. Kerugian jiwa dibayar dengan jiwa. Kami sudah berusaha maksimal dan mereka mengerti. Kenapa ketika bertemu dengan sekarang berbeda? Kami tersinggung, merasa ditusuk dari belakang," ujar Didi.
Benarkah KJRI telah berusaha maksimal, seperti melakukan investigasi dan memintakan ampun kepada keluarga majikan Ruyati? Menurut Didi, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi telah memberitahu KJRI terkait hukum qishas Ruyati seminggu sebelumnya. Namun, informasi kapan eksekusi berlangsung, baru diberitahu dua jam di malam sebelumnya.
Didi juga menjelaskan, sebelum qishas dilakukan, pihak KJRI telah mengirimkan surat melalui lajnah al-'Afu wa al-Ishlah Dzat al-Bait, semacam lembaga rekonsilisasi yang dipimpin oleh Amir Khalid bin Faishal bin Abdul Aziz (Gubernur Mekah). Namun, keluarga korban Khairiya binti Hamid Mijlid tidak mau ditemui dan malah meminta Dewan Raja agar Ruyati dihukum mati.
Selain itu, pihak KJRI juga mengirim dua surat kepada Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi sebagai nota protes diplomatik atas eksekusi Ruyati. Nota ini sempat diminta tim investigasi, namun tak diizinkan oleh Didi. "Nota diplomatik tidak bisa sembarang diumbar begitu saja. Dokumen ini milik negara, tidak bisa main di-copy pihak lain," ungkap Didi lebih lanjut.
KOMENTAR