JOC (Jogja Onthel Community) Anggota Baru Diplonco Dulu!
Komunitas yang diprakarsai Penot, Fauzan dan Wagiran ini berawal dari kesukaan anak-anak Yogyakarta akan sepeda lawas atau yang biasa disebut sepeda onthel. Sekitar tahun 1998, banyak para pengamen, penjual koran, pelajar, mahasiswa, juga pekerja yang gemar naik sepeda onthel. Mereka kerap berkumpul di alun-alun dekat Malioboro.
Hampir setiap malam Minggu, alun-alun kota Yogyakarta penuh dengan berbagai komunitas, termasuk penggemar sepeda onthel ini. Karena kerap bersua, akhirnya mereka sepakat mendirikan sebuah komunitas khusus penggemar sepeda onthel yang diberi nama Jogja Onthel Community (JOC) pada 2001.
"Setelah resmi berdiri, kami tetapkan kegiatan reguler kami menongkrong tiap malam Minggu di depan Benteng Vrederburg atau Gedung Agung, sebagai meeting point JOC," ungkap Wagiran. Adi mengisahkan, ketika awal berdiri tidak terpikir komunitas ini akan sebesar sekarang. Saat itu hanya sekitar 20 orang saja yang menjadi anggota JOC secara resmi.
"Kalau sekarang, secara administratif anggota sudah sekitar 400an orang, kebanyakan kisaran usia 17 hingga 25 tahunan. Meski yang aktif hanya 50 an orang tapi kalau kita mengadakan event pesertanya jadi banyak," tutur Wagiran yang mengaku bangga kini komunitasnya kian eksis.
Uniknya komunitas ini, untuk menjadi anggota tidak sekadar melalui proses administratif saja. Jika telah mendaftar jadi anggota, ada proses seleksi berupa perploncoan.
"Perploncoan ini memang wajib diterima setiap anggota, tapi hanya semalam saja, kok. Tujuannya cuma untuk seru-seruan biar saling kenal, juga untuk semakin memupuk kecintaan terhadap onthel," papar Wagiran.
Selain acara rutin kumpul setiap Kamis dan Sabtu di alun-alun, komunitas ini juga beberapa kali mengadakan touring bersama ke beberapa kota.
Pada 2004 lalu 8 orang anggota JOC touring bersama ke kota Bandung. Kebetulan saat itu JOC mendapat undangan untuk mengunjungi komunitas onthel di kota lain. Sekitar tahun 2008 lalu, komunitas ini juga touring ke Jepara. Lalu di tahun berikutnya (2009), juga berwisata onthel sampai ke Surabaya.
"Tahun 2010 ini, kami juga sempat jadi panitia Merapi Baksos bersama komunitas onthel se-Indonesia. Kebetulan juga atas koordinasi JOC," terang Wagiran sambil menjelaskan, JOC yang menjadi pionir komunitas sepeda di Yogyakarta ini, juga kerap berkomunikasi dengan komunitas sepeda tua Indonesia (KOSTI) dan cabang KOSTI lainnya.
Wagiran menegaskan, untuk keperluan kegiatan rutin dan insidensial ini, JOC tak pernah mewajibkan anggotanya mengeluarkan sejumlah uang. "Kalau soal uang kas, kami mengupayakan ada iuran seikhlasnya dari anggota setiap kumpul malam Minggu. Tapi soal touring, biasanya kami biaya swadaya," jelas Wagiran seraya mengatakan, JOC sangat memahami keberagaman anggotanya yang tak hanya dari kalangan menengah tapi juga menengah ke bawah.
Sementara dengan hadirnya beraneka ragam komunitas sepeda di Yogyakarta akhir-akhir ini, JOC merasa bangga jika orang kini semakin mencintai kegiatan bersepeda. "Kebetulan komunitas kami juga memiliki andil besar dalam pembuatan jalur alternatif bersepeda yang dirumuskan pemerintah. Kami juga dimintai masukan sejumlah jalur yang penting diketahui para pengendara sepeda," pungkas Wagiran yang berharap semakin banyak orang yang memilih bersepeda karena bisa mendukung gerakan mengurangi polusi udara.
Pory (Paguyuban Onthel Rabuk Yuswo) berdiri sejak Februari 2009. Slogan yang diusung adalah anggampangake laku, ngedhohake penyakit, ati bungah, ngirit ora ngorot-orot, rukun lan ramah lingkungan. Anggampangake laku bermakna bersepeda membuat aktivitas terasa lebih mudah. Ngedhohake penyakit berarti berkat bersepeda tubuh menjadi sehat, kuat, dan dapat melawan penyakit.
Ati bungah berarti lebih mensyukuri karunia Tuhan karena telah menciptakan kaki untuk mengayuh dan tangan untuk memegang kendali. Ngirit ora ngorot-orot bermakna dapat menghemat semaksimal mungkin. Dan rukun lan ramah lingkungan, bersepeda menjaga kebersihan udara yang ada di sekeliling, bebas polusi, dan ramah lingkungan.
Pendiri Pory adalah Haryono, memang gemar bersepeda bersama teman-temannya. "Tiap Minggu pagi kami kumpul di Lapangan Minggiran untuk berolahraga. Kami datangi pasar desa, tempat budaya dan sejarah," kata Haryono yang bersepeda bersama 9 temannya. "Di tengah jalan, kami mencetuskan ide ada baiknya pengguna sepeda onthel dikumpulkan dan dijadikan satu paguyuban."
Paguyuban Onthel Rabuk Yuswo pun dibentuk. Rabuk berarti pupuk dan yuswo artinya umur. Tiap anggota ditarik iuran Rp 10 ribu. "Kegiatan kami bersepeda, sosial, membantu sego segawe (sepeda kanggo sekolah lan nyambut gawe) yang dicanangkan Walikota Yogyakarta. "Di minggu terakhir, kami berkunjung ke panti asuhan dan panti wreda. Jadi tak sekadar bersepeda untuk hura-hura, tapi bermakna dan berguna pada sesama," kisah Haryono yang memiliki anggota termuda kelas 4 SD dan tertua berusia 69 tahun.
Menurut Koko, Sekjen Pory, dengan bersepeda dan berkumpul, bisa memperpanjang umur, tetap sehat, gembira, jauh dari stres dan penyakit. "Kita, kan, enggak tahu sampai kapan umur orang," ujar Koko yang saat peluncuran Pory ada 300 orang bergabung. "Yang aktif sekitar 150 orang. Syarat menjadi anggota gampang, kok, semua yang senang bersepeda, boleh pakai sepeda apa saja. Boleh fixie, mountain bike, asal sepeda."
Jika ada anggota yang memiliki 10-20 sepeda, boleh meminjamkan ke temannya. "Anggota Pory biasanya punya lebih dari satu sepeda." Bahkan penggemar onthel tiap bulan terus bertambah jumlahnya. Tak heran banyak komunitas lain berdiri selain Pory. Adanya Pory, diharapkan Haryono dan Koko bisa menginspirasi masyarakat yang tinggal di teman di pinggiran kampung.
"Kegiatannya, kan, ramah lingkungan, positif, tidak mahal, banyak manfaat, dan mudah. Ibu yang sudah tua dan bersepeda bisa membaur dengan yang muda. Kalau bisa, Jogja jadi pelopor gerakan bersepeda. Apalagi di Jogja sudah dibuat jalan dan ruang tunggu sepeda. Tinggal sosialisasi dari pemerintah dan masyarakat saja."
Demi kekompakkan, Pory juga membuat seragam untuk anggota yang dipakai di acara tertentu. "Seragam warna cokelat muda adalah yang pertama kali dibuat. Semua anggota juga harus punya baju surjan. Di hari Minggu, kami pakai kaos. Seragam hitam dipakai untuk peristiwa ketika ada yang sakit atau meninggal. Tujuannya, untuk menghargai orang yang kena musibah."
Laili, Nove / bersambung
KOMENTAR