Wajah Saminah (57), warga Desa Bajulan, Kec. Loceret, Kab. Nganjuk (Jatim) tertunduk lesu. Mata ibu tiga anak itu mendadak berkaca-kaca saat menceritakan anak pertama dan ketiganya, Parmin (35) dan Warsito (24), yang turut menjadi korban kecelakaan maut di pagi buta itu. "Siapa yang tidak syok, kedua anak saya berangkat dalam keadaan segar bugar, hanya selang beberapa jam, sudah meninggal," kata Saminah didampingi anak keduannya, Wakini (26).
Saminah berkisah, kedua anaknya malam itu berangkat setelah dijemput mobil travel yang hendak mengantar ke Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, yang akan dilanjutkan dengan kapal laut menuju Kalimantan Tengah, untuk mengadu nasib jadi pekerja di tambang emas tradisional.
Saminah ingat betul, sebelum berangkat, Minggu (11/9) malam keduanya sempat minta doa restu padanya. "Biyung (ibu, Red.) doakan kami berdua selamat sampai tujuan dan diberi banyak rezeki," kata Saminah menirukan ucapan kedua anaknya. Sebagai orangtua, Saminah tak bisa apa-apa, kecuali hanya bisa memberi doa restu agar kedua anaknya bisa berhasil.
Alangkah terkejutnya ia, sekitar pukul 06.00, seorang teman anaknya yang kebetulan bekerja di salah satu RS di Mojokerto memberitahu ada kecelakaan mobil di by pass Mojokerto yang berasal dari Desa Bajulan. Seketika itu seluruh keluarga besarnya panik. Ia lalu minta menantunya bergegas ke RS yang ada di Mojokerto untuk mengecek kebenarannya. "Kami semua hujan tangis, dari 19 korban itu ternyata termasuk dua saudara saya," timpal Wakini sedih.
Tak ada firasat yang dirasakan Wakini ketika kedua saudaranya pergi. Namun, Saminah merasakan sedikit keganjilan. Warsito membawa semua pakaiannya, termasuk baju pengantin yang baru ia gunakan saat menikahi Jujuk Ningtyas, 1,5 bulan lalu. "Warsito sedang bahagia menikmati masa pengantin baru. Tapi demi keluaraga, dia rela merantau," puji Saminah.
Suasana duka mendalam juga terasa di rumah keluarga Saeran (55), Desa, Bajulan, Loceret. Kelima anak Saeran tak kuasa menahan tangis ketika membicarakan ayah mereka, yang sudah mendududa sejak 11 tahun sepeninggal istrinya. "Bapak sangat baik pada semua orang," kata Damiati (31) anak pertamanya, didampingi adiknya, Purwanti.
Ibu dua anak itu berkisah, ia tak menduga, ucapan janggal ayahnya yang beberapa kali diucapkannya, jadi pertanda sang ayah akan pergi untuk selamanya. Yang dimaksud Damiati, belakangan ini ayahnya sering berkata, apa yang dilakukannya itu merupakan yang terakhir kalinya. Lebaran lalu, Saeran dimintai anak-anaknya membeli sate. Dengan ringan, Saeran membelikannya. "Enggak apa-apa, ini untuk yang terakhir kalinya, kok," kata Damiati menirukan ucapan sang ayah, yang dianggapnya sebagai guyonan belaka.
Demikian pula beberapa hari sebelumnya, ayahnya minta dipijat tetangga. Sang ayah kembali mengucapkan kalimat, "Tolong aku dipijat, ya. Ini juga untuk yang terakhir. Nanti aku enggak akan minta tolong lagi," timpal Purwanti. "Sekarang kami semua baru sadar, ternyata semua ucapan itu sebagai pertanda, Bapak akan meninggalkan kami semua," kata Damiati dengan mata berkaca-kaca.
Damiati menjelaskan, ayahnya amat bertanggung jawab terhadap keluarga. Sepeninggal ibunya akibat sakit lever, ayahnya tak mau menikah lagi. Ia rela hidup sendiri demi anak-anaknya. Ia khawatir, bila menikah lagi, anak-anaknya tak cocok dengan ibu barunya. "Aku tak akan menikah lagi. Biarlah hidup sendiri, yang penting anak-anakku bahagia," kata Saeran kala itu.
Yang membuat semua keluarga besarnya tak bisa melupakan Saeran, karena ia sangat dekat dengan anak-anaknya, bahkan menantu. Yang paling tak bisa dilupakan dari sosok Saeran adalah sifat humorisnya. "Bapak suka goyon sampai kami terpingkal-pingkal," tambah Purwanti.
Karena itulah, anak-anaknya sebenarnya keberatan ketika ayahnya mau ke Kalimantan bekerja di tambang emas. Selama ini, Saeran bekerja kasar di Surabaya, dan baru pulang menjenguk anak-anak dua minggu sekali. Ia mengaku ingin mencari uang lebih. Sayang, tujuan mulia Saeran berjuang demi keluarga berakhir duka.
"Kami tak percaya, ketika pagi itu menerima kabar, rombongan mobil yang hendak menuju Pelabuhan Tanjung Perak yang ditumpangi Bapak kecelakaan," imbuh Purwanti dengan berlinang air mata. "Tapi, kami ikhlas melepas kepergian Bapak, meski terasa sangat berat," imbuh Damiati.
Di antara 21 penumpang minibus nahas itu, 19 orang di antaranya tewas. Salah satu dari dua korban yang selamat adalah Ranianto (35). Bapak satu anak warga Desa Dodol, Kec. Ngetos, Nganjuk itu kini dirawat di RSUD Nganjuk, akibat lengan kanannya cedera dan menunggu tindakan operasi.
Ranianto yang didampingi istrinya, Subekti (22), tak henti bersyukur betapa dirinya masih diberi keselamatan, meski ia pun syok sebab semua temannya tewas. "Saya tak menduga, mereka tewas. Pikir saya cuma cedera seperti saya," kata Ranianto.
Ia lalu bercerita, sejak berangkat, kendaraan yang ditumpangi 21 orang termasuk sopir itu dari lokasi pemberangkatan di Nganjuk melaju dengan kencang. Namun, ia tak tahu persis bagaimana kejadiannya, sebab seisi mobil itu tertidur. "Saya datang ke pool mobil sejak jam 22.00, dan baru berangkat jam 01.30, jadi kami ngantuk semua," kata Ranianto yang hendak ke Kalimantan Tengah, bersama lima temannya menggarap kolam di sebuah perumahan.
Ia pun menceritakan, kejadiannya berlangsung begitu cepat. Saat ia terlelap tidur, tiba-tiba terasa ada benturan sangat keras. Entah, bagaimana dirinya yang saat itu duduk di bangku cadangan nomor dua dari belakang tiba-tiba terlempar ke luar dan terlentang di aspal.
Sesaat ia menyadari, sudah terjadi kecelakaan. Ranianto, yang lengan kanannya luka mengangga itu kemudian dipapah warga ke tepian jalan yang saat itu masih gelap. Belum sempat tahu kronologis kejadiannya, sekitar 10 menit kemudian datang ambulans yang membawanya ke RS.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR