Sungguh ini adalah musibah terberat. Aku tak pernah menyangka akan mendapat musibah seberat ini. Bayangkan, selama ini perilaku Suw (52), suamiku memang temperamental. Selain kerap mabuk-mabukan dan minum minuman keras, juga kerap memukul. Kendati demikian, tak pernah separah ini, sampai tega membakar tubuh Nita Efiana (19), anak gadis yang sudah kami angkat sebagai anak sendiri sejak masih bayi.
Pada saat kejadian itu, aku memang tak mengetahui sendiri, karena masih berada di rumah majikan tempatku mengasuh anak yang ada di tetangga desa. Menurut pengakuan Nita, juga para tetangga, sore itu tiba-tiba suamiku pulang ke rumah dalam keadaan mabuk berat. Dengan tubuh sempoyongan, mulut Suw terus mengoceh tak karuan. Melihat ayahnya demikian, Nita merasa kesal. "Pak, aku malu sama orang, masak setiap hari Bapak, kok, kerjanya mabuk-mabukan terus," ujar Nita pada Suw.
Rupanya, ucapan Nita itu membuat Suw yang tengah mabuk berat tersulut emosinya. Ia pun tak terima perkataan anak angkatnya itu. "Kamu dari kecil diasuh, kok, tiba-tiba sekarang berani-beraninya melawan orangtua. Sudah, kamu tidak usah banyak bicara!" tukas Suw dengan wajah memerah dan mulut bau alkohol menyengat. Melihat ayahnya naik pitam, spontan gadis yang sehari-hari bekerja sebagai penjaga toko busana muslim itu diam seribu bahasa. Meski Nita diam, Suw masih sakit hati dengan ucapannya tadi. Ia kemudian ke luar rumah sebentar, dan tak lama kemudian kembali sambil membawa dua botol bensin di tangannya.
Mengetahui ayahnya membawa bensin ke dalam rumah, Nita sudah mulai curiga jika ayahnya itu akan melakukan sesuatu. Karena takut, Nita menguntit ayahnya sambil memohon-mohon agar tidak melakukan perbuatan nekat. "Pak, mau apa, kok, bawa bensin?" tanya Nita di ruang tamu.
Suara Nita yang mengiba-iba itu sama sekali tak membuat Suw luluh, bahkan malah melakukan sesuatu yang tak pernah diduga Nita sebelumnya. Dua botol bensin yang ada di tangannya lalu dibanting ke lantai, sehingga membanjiri lantai ruang tamu termasuk tubuh Nita, juga tubuh Suw sendiri. Belum genap keterkejutan Nita, Suw tiba-tiba menyalakan korek api. Blup, seketika itu api menyambar dan membakar sesisi ruang tamu termasuk tubuh Nita dan tubuh Suw.
Begitu menyadari tubuhnya tersulut api, Nita langsung berteriak dan lari ke luar rumah dengan tubuh penuh api. Bagitu paniknya, Nita langsung menceburkan diri ke parit berlumpur yang ada di depan rumah. Mengetahui teriakan Nita, para tetangga kemudian berlarian membantu memadamkan api. Sementara Nita yang sudah dalam keadaan tak sadarkan diri dan masih berada di parit, baru diselamatkan warga 15 menit kemudian. Sebenarnya, Suw yang sebagian tubuhnya juga tersulut api, akan dikeroyok warga, tapi beruntung, oleh sebagian warga segera diserahkan ke polisi.
Aku sendiri baru mengetahui kejadian itu setelah salah seorang keluarga memberitahu. Seketika itu juga aku menuju RSUD Lamongan. Setiba di rumah sakit, aku langsung menerobos ke UGD, tempat Nita ditangani pertama kali. Begitu tahu wajah Nita sudah menghitam dan tak utuh lagi, tubuhku mendadak oleng dan tak ingat apa-apa lagi. Ya Allah, dosa apa anakku, kok, sampai harus menerima cobaan seperti ini. Aku semakin tak bisa mengerti lagi setelah mengetahui, yang melakukan perbuatan kejam itu adalah suamiku sendiri. Padahal, selama ini Suw sangat dekat dengan Nita. Meski Nita anak angkat, namun tak mengurangi kasih sayangnya terhadap anak itu.
Aku mengakui, suamiku memang sejak dulu dikenal sebagai seorang peminum berat. Kebiasaan buruk itu sudah dilakukannya sejak ia perjaka. Karena itu, keluarga besarku banyak yang tak setuju aku menikah dengannya. Tapi, mungkin sudah sama-sama cinta, aku berusaha membelanya sehingga orangtua tak bisa berbuat banyak.
Pada awal menikah, kebiasaan buruknya itu sempat berhenti, tapi setelah lima tahun berjalan, kambuh lagi. Terutama setelah aku tidak kunjung bisa memberikan keturunan.
Setiap terjadi percekcokan, aku menjadi limpahan kekesalannya. Aku dianggap tak bisa memberikan keturunan meski hasil pemeriksaan dokter menyatakan diriku sehat. Tak hanya suka minum, ia juga mulai terlihat amat temperamental. Suw, kerap menempeleng diriku bila ada sedikit persoalan. Karena aku juga belum mendapat keturunan, lalu ia berinsitif untuk mengambil anak angkat, anak kakakku. Semula, akau tidak mau, tapi Suw ngotot minta mengangkat Nita sebagai anak, yang saat itu baru berusia dua bulan.
Dan memang benar, setelah Nita aku angkat anak, kasih sayang Suw tak diragukan lagi. Ia menyayangi Nita sepenuh hati. Aku masih ingat, meski ia pekerjaannya sehari-hari sebagai sopir angkutan umum, namun berusaha menyenangkan Nita dengan membelikan makanan yang Nita inginkan. Tapi jeleknya, sejak itu kebiasaan mabuknya tak pernah berhenti. Paling tidak, seminggu sekali sepulang dari nyupir, ia pulang dalam keadaan mabuk. Jika sudah mabuk, setiba di rumah aku yang harus melayaninya. Dari membersihkan tubuhnya sampai membersihkan bekas muntahnya!
Aku akui, aku memang sabar. Bahkan, semua tetangga memuji diriku karena kesabaranku itu. Aku tak mengerti mengapa demikian. Tapi, bila dirunut ke belakang, karena Suw tak punya orangtua dan hanya punya satu orang saudara, itu membuat aku iba melihatnya. Seperti saat ini, hanya di awal saja aku membenci Suw. Bahkan, ketika ia masuk masuk rumah sakit, aku sempat marah dan mencekik lehernya sambil mengumpat kepadanya. Tapi sekarang justru sebaliknya. Ketika ia jadi tahanan polisi dan saat ini juga terbaring sakit dengan luka bakar di tubuhnya, aku tak tega melihatnya. Aku berharap, ia segera sembuh. Soal aksi kejahatannya, biarlah polisi yang menangani.
Yang menjadi bebanku saat ini adalah kondisi fisik Nita. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana jika wajahnya yang semula mulus kelak benar-benar jadi cacat permanen. Setiap saat ketika aku melihat wajahnya, jujur hatiku rasanya seperti diiris-iris. Jika sudah begitu, aku tak bisa membendung air mata. Yang membuat aku kagum pada Nita, setiap aku menangis seperti itu, justru Nita yang menguatkan hatiku. "Emak, tidak usah menangis," katanya menenangkanku.
Padahal saat ini Nita tengah bahagia-bahagiannya, karena sekitar dua bulan belakangan ini ia tengah memadu kasih dengan Yasak, seorang pemuda tetangga desa. Nita mengenal Yasak, saat Yasak membeli sesuatu ke toko busana muslim tempat Nita bekerja sebagai penjaga toko.
Tak hanya Nita, Yasak pun juga sudah mengaku mencintai Nita, dan dalam waktu tak lama lagi keluaraganya akan datang ke rumah. Tapi, aku tak tahu lagi, masihkan Yasak mau menerima keadaan Nita seperti ini? Bila memang tidak mau lagi menerima Nita, alangkah pedihnya hati Nita. Tapi, aku tak mau terlalu memikirkan itu. Saat ini yang aku pikirkan adalah bagaimana agar Nita bisa segera sembuh seperti sediakala.
Gelap Mata
Kanitresktim Polsek Kota Lamongan, AKP Mainur, Senin (12/9) menjelaskan, saat ini polisi telah menjerat Suw sebagai tersangka Pasal 187 KUHP, dengan ancaman hukunman 15 tahun penjara. "Yakni dengan sengaja mengakibatkan suatu kebakaran dan membahayan nyawa orang lain," papar Mainur.
Sementara itu, Suw sendiri saat ini tengah dirawat di ruang ICU RSUD Lamongan. Ia dirawat dalam satu ruangan bersama anak angkatnya, Nita, hanya berbeda kamar. Suw mengalami luka di bagian kaki dan kedua tangannya. Ia tak bisa menjawab banyak ketika ditanyai NOVA. "Saya enggak tahu, waktu itu saya benar-benar gelap mata. Saya tidak sadar kalau itu anak saya sendiri," ujar pria berkulit gelap dalam balutan pakaian tahanan warna oranye.
Ia mengaku tak mengerti mengapa bisa berbuat kalap dan senekat itu. Sejak pagi, ia mengaku memang minum minuman keras dengan temannya. Sore hari, ia pulang kemudian terjadilah tragedi yang mengantarkan dirinya masuk dalam tahanan. "Saya menyesal sekali, kenapa sampai seperti ini," katanya lirih.
Sampai saat ini, Nita bahkan masih belum bisa apa-apa, kecuali hanya tidur terlentang. Kulit wajahnya yang luka ditutupi obat, demikian pula kedua kakinya, yang menderita luka bakar lebih parah.
Gandhi Wasono M.
Berita yang lebih lengkap dan dalam ada di Tabloid NOVA. Belinya enggak repot, kok.
Sahabat NOVA bisa pilih langganan di Grid Store, atau baca versi elektroniknya (e-magz) di Gramedia.com, MyEdisi, atau Majalah.id.
KOMENTAR