Selasa (6/9) pagi itu, sedianya aku akan menjalani sidang gugatan perceraian yang kuajukan untuk suamiku, Irawan. Hari itu, aku memasuki sidang untuk yang ketiga kalinya. Aku terpaksa menggugat cerai suami lantaran sudah lebih dari lima tahun tidak pernah memberi nafkah. Akulah yang bekerja keras di Jakarta sejak tahun 2005 sebagai trainer di Yayasan Mutiara Bunda, Kedoya Selatan, Jakarta Barat. Pekerjaan utamaku adalah melatih perempuan yang akan belajar memotong rambut, make-up, dan membuat sanggul di Yayasan itu. Juga melatih calon babysitter karena di yayasan itu ada dua usaha yang berbeda.
Selain alasan ekonomi, alasan lain menggugat cerai karena Irawan adalah tipe pria yang temperamental. Selama berumah tangga dengannya kadang bermasalah, hanya saja aku tak pernah membuka aib ini kepada keluargaku. Semua aku simpan sendiri. Sebelum aku bekerja di Jakarta, kami memang pernah tinggal di Jakarta.
Dulu, di Jakarta suamiku punya usaha pembuatan kusen kayu, tapi akhirnya bangkrut. Lalu kami pulang ke Batang membuka toko kelontong. Sampai di sini, suamiku hanya membantu angkat barang. Untuk belanja barang dagangan, akulah yang setiap hari melakukannya. Lama-lama, aku tak tahan kerja berat seperti itu. Lalu suami menyuruhku bekerja karena ia bilang usianya sudah tak produktif lagi untuk bekerja.
Saat itu kami memang mengalami kesulitan uang. Kulkas, kompor gas, sudah habis kami jual untuk makan. Setelah barang berharga di rumah habis dijual, mau jual apa lagi? Begitulah, akhirnya pada 2005 aku berangkat ke Jakarta, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.
Padahal, ijazahku SMA. Beruntung aku bertemu babysitter di rumah majikanku. Babysitter itu menyarankan agar aku masuk ke Yayasan Mutiara di Kedoya Selatan. Baru dua hari jadi PRT, aku minta izin majikan untuk keluar dengan mengaku masih kerabat si babysitter-nya. Kemudian aku mendaftar jadi babysitter.
Lamaranku di yayasan Mutiara Bunda diterima, bahkan aku dikirim ke RS Kartini untuk menjalani pelatihan. Dari sinilah karierku sebagai trainer kecantikan dan babysitter dimulai. Sebelum mendapat posisi trainer lebih dulu aku menjalani tugas sebagai babysitter. Setelah itu aku sering dikirim mengikuti seminar-seminar kecantikan dan babysitter.
Pendek kata, penghasilanku sebagai trainer aku kirim untuk biaya sekolah ketiga anakku, sampai si sulung kini sudah lulus SMK dan bisa bekerja. Sayangnya, suamiku justru tidak menghargai jerih payahku. Ia justru menuduhku selingkuh. Puncaknya sekitar tanggal 27 Mei, tanpa kuduga ia sudah berada di Jakarta dan membuntutiku sepulang kerja.
Setibanya di Jalan Harun, tas kerjaku ditarik paksa hingga aku terjatuh. Suamiku lantas mengambil telepon genggamku. Aku berusaha mempertahankan namun gagal karena ia lari. Saat kejadian itu, anakku juga sedang berada di rumah kontrakanku di Jakarta. Esoknya, ia kutinggal seminar di Bogor bersama tiga temanku dari yayasan. Berangkat pagi, pulang sore.
Saat aku masih di Bogor, suamiku kirim SMS kepada anakku menanyakan apakah aku sudah pulang. Ketika dijawab belum, Irawan kirim SMS kasar dengan mengataiku sebagai "pelacur". Aku tak menanggapinya karena kata-kata seperti itu sudah sering ia lakukan. Padahal, aku tidur di hotel pun karena dikirim yayasan untuk seminar atau training soal rambut dan kecantikan.
Tanggal 30 Mei, tanpa kuduga Irawan datang ke yayasan dan memaksaku pulang. Aku menolak. Secara logika, bertahun-tahun aku tidak dinafkahi, tentu saja aku juga tak mau melayaninya lagi. Bahkan sudah dua kali Lebaran aku tidak pulang agar bisa menjadi babysitter infal, sehingga bisa membayar utang ke yayasan.
Karena kutolak permintaannya, suamiku marah. Ia langsung menjambak, menampar, dan menyeretku pulang. Suamiku menuduh aku telah melakukan perselingkuhan setelah melihat foto-foto di telepon genggamku. Aku sudah bilang, foto lelaki berinisial An yang ada di foto itu, maaf, seorang banci, pemilik salon. Betul, kami memang berfoto bedua. Tetapi ada ceritanya.
Begini, saat itu aku lupa tepatnya kapan, aku hendak mendatangi suatu acara tetapi belum dandan. Lalu aku datang ke salon An. Usai dandan, karena ia orang salon dan aku trainer kecantikan, obrolan kami pun nyambung hingga cepat akrab. Setelah itu, kami foto berdua. Maklum HP-ku baru, jadi sedang senang-senangnya berfoto pakai HP.
Penjelasanku seperti itu rupanya tak memuaskan suami. Ia tetap menuduhku selingkuh dan mengajakku pulang ke Batang. Dengan berat hati akhirnya kami pulang bersama. Sejak itu, aku tak lagi bekerja di Yayasan Mutiara Bunda. Setibanya di Batang, aku pun tak kembali ke rumah suami, melainkan ke rumah orangtuaku. Kuceritakan semua yang menimpa rumah tanggaku pada kedua orangtuaku. Setelah itu, aku menggugat cerai Irawan.
Pada sidang pertama dan kedua, suamiku bilang kepada hakim bahwa tidak akan pernah menceraikanku meski ia mengajukan bukti foto yang ia yakini "hasil" perselingkuhanku. Berkali-kali aku bilang, selingkuh dengan siapa dan apa buktinya? Malam sebelum sidang ketiga, suamiku berkirim SMS amat kasar. Intinya, ia mengatakan uangku adalah hasil jual diri dan jangan sampai diberikan ke anak-anak. SMS seperti itu seperti biasanya tak pernah aku balas. Aku tahu watak suamiku.
Selasa (6/9), aku datang ke Pengadilan Agama ditemani ibuku, Ny. Mundari. Kira-kira baru lima menit sampai, kami duduk di bangku ruang tunggu sambil menunggu hakim yang akan menyidangkan perceraian datang. Tanpa kusangka dari arah berlawanan, datang suamiku. "Nih, ada titipan," katanya seraya melempar selembar foto ke pangkuanku. Belum jelas aku melihat siapa orang dalam foto itu, tiba-tiba suamiku mengeluarkan botol minuman warna biru, lalu menyiramkan isinya ke kepalaku seraya berkata, "Ini hadiahnya!"
Sekejap kemudian, kepala dan seluruh tubuhku terasa panas, perih bukan kepalang. Aku berteriak panik minta pertolongan namun tak ada yang menolong. Lalu aku lari ke arah kamar mandi, mencari air. Di sana kakiku terasa lemas. Kemudian aku kembali berlari ke luar mencari pertolongan. Sampai di sini aku masih bisa mendengar dan melihat ibuku berteriak-teriak agar menangkap suamiku yang sudah siap melarikan diri dengan sepeda motornya. Tetapi ia akhirnya bisa ditangkap polisi, yang kebetulan kantor Polsek tak jauh dari PA.
Dalam kondisi sadar, aku dibawa ke rumah sakit. Karena itu aku merasakan betul betapa sakitnya luka akibat terbakar cairan air keras. Sejak pagi hingga sore tubuhku kejang-kejang. Malam pun tak bisa tidur akibat kesakitan. Kendati demikian, sakitnya tubuhku saat ini tak ada artinya bila dibandingkan sakitnya perasaanku atas perlakuan suamiku. Karena itu, aku ingin segera lepas dari ikatan perkawinanku dengannya.
Hukuman Setimpal
Akibat guyuran air keras ke kepala yang menjalar ke seluruh tubuhku, kini kepalaku gosong. Mata sebelah kanan sebagian meleleh dan mengakibatkan penglihatanku kabur. Wajahku juga gosong di sana-sini dan kaku seakan tak bisa digerakkan. Hari pertama bahkan tenggorokanku sakit. Dada kiriku hingga lengan, paha hingga kaki kanan dan kiri turut melepuh. Menurut dokter, total tubuhku yang terbakar ada 19 persen.
Aku sudah mendengar suamiku kini ditahan polisi dengan sangkaan melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Biarkan saja. Aku justru ingin ia diproses secara hukum. Seberapa berat hukumannya, biar Pengadilan yang memutuskan. Yang penting setimpal dengan kejahatan yang sudah ia lakukan. Aku berusaha mengikhlaskan, meski sejujurnya amat sulit.
Bagaimana nasibku ke depan, aku belum memikirkan. Ingin menggugat secara perdata dengan meminta biaya ganti rugi perawatan di rumah sakit, tetapi Irawan toh juga pengangguran.
Yang jelas aku masih harus membiayai sekolah dan hidup kedua anakku. Dengan keterampilanku di bidang potong rambut, make-up, dan sanggul yang baru kumiliki dua tahun belakangan ini, kuharap aku mampu. Aku harus tetap semangat hidup dan bekerja.
Rini Sulistyati / bersambung
KOMENTAR