Setengah tahun kemudian, tepatnya Jumat (9/9) siang, Nurdin, adik saya, dihubungi pihak PT Harco. Katanya, Ninit sudah pulang dan sekarang ada di Jakarta. Ia diminta segera ke Condet. Karena saat itu adik saya sedang menyelesaikan saung di Ciledug, ia berjanji akan datang sore hari. Ternyata sampai di Condet, Ninit belum ada. Pihak Harco bilang, nanti Ninit akan diserahkan oleh pihak dari BNP2TKI dan Kedutaan. Saya, kan, jadi bingung. Ketika ditanya apa yang sebetulnya terjadi pada anak saya, pihak PT Harco mengaku tidak tahu.
Baru sorenya Nurdin diajak ke RS Polri Kramat Jati dan mendapati Ninit sudah meninggal. Katanya, jam 09.00, Ninit meninggal. Begitu dapat kabar duka itu, saya langsung minta jenazah Ninit dibawa pulang saja. Biarlah dimandikan dan dikafani di rumah saja. Waktu jenazahnya tiba di rumah, saya tak tega memeriksa. Saya hanya mampu menatap wajah Ninit yang tirus dan kurus. Tapi menurut orang yang memandikan, sekujur tubuh Ninit penuh luka. Kedua pipinya tampak gosong, kepala dan punggungnya luka, kupingnya mengecil, di betisnya ada dua lubang yang menganga. Di sekitar kemaluannya seperti ada bekas seterika. Ah, saya tak sanggup mendengar cerita itu.
Setelah semua beres, akhirnya jenazah Ninit kami makamkan di pemakaman umum dekat rumah. Saya sekarang pasrah saja ke pemerintah. Saya tak sanggup lagi jika harus mengurus gaji atau asuransi yang belum dibayar. Saat pulang, Ninit membawa uang sekitar Rp 5 juta.
Beberapa kabar sempat beredar. Ada yang bilang, sebenarnya Ninit sudah pulang ke Indonesia bersama teman-temannya pada tanggal 30 Agustus lalu. Hanya saja karena kondisinya sakit, dari bandara Ninit dan dua temannya langsung dibawa ke RS Polri Kramat Jati. Karena sedang libur, pihak BPN2TKI tak bisa menghubungi PT Harco. Ada juga yang cerita, selama dirawat di RS, Ninit sempat minta uang ke petugas untuk beli baju dua anaknya di Pasar Kramat Jati. Tapi saya sanksi dengan cerita itu. Selain baju itu tidak ada, kalau memang kondisinya sehat, pasti Ninit bisa menghubungi keluarga.
Ya sudahlah, ini mungkin sudah garis yang diberikan Allah untuk Ninit. Seperti juga garis kegagalan rumah tangga yang dibinanya dengan Dadang. Setelah cerai dengan Dadang, Ninit dan Fauzi kembali tinggal bersama saya. Sedangkan Wandi ikut bapaknya yang kini sudah menikah lagi. Selain mengurusi rumah tangga, ia juga membantu membuat bilik bambu. Mungkin karena hasilnya sedikit, ia kepikiran jadi TKW.
Kini terserah saja, apakah masalah penganiayaan Ninit ini akan diproses secara hukum atau tidak ke pemerintah. Saya sudah capek. Hampir dua tahun mengurus Ninit tapi hasilnya seperti sekarang ini. Sia-sia saya mondar-mandir Jakarta - Ciwidey. Saya pasrah. Biar semua diurus pemerintah.
Kendati Ninit sudah tiada, namun data di komputer BPN2TKI belum memperlihatkan adanya laporan kasus yang menimpa Ninit Nurjamilah atau Siti Nurjamilah. "Saya sudah cek, tapi tidak ada nama itu," kata Drs. Saiful Idhom, MM, Direktur Perlindungan dan Advokasi Kawasan Timur Tengah, Eropa, dan Afrika BNP2TKI. Namun Saiful mengakui, Ninit tiba di Indonesia tanggal 30 Agustus lalu. "Ketika mendarat, ia dalam kondisi sakit lalu dibawa petugas kami ke RS Polri Kramat Jati. Bisa jadi, sebelum bertemu keluarganya, dia keburu meninggal."
Karena belum ada laporan yang masuk, Saiful belum bisa memberi banyak informasi. Jumat (16/9) siang itu juga, ia sudah memerintahkan anak buahnya untuk menemui Usep di Ciwidey. Soal asuransi, gaji, dan hak-hak Ninit yang mungkin belum dibayarkan, Saiful minta agar keluarga Ninit segera membuat laporan ke kantor BNP2TKI. "Datang ke sini saja. Enggak usah harus dengan pihak ketiga. Pasti akan kami bantu," jelas Saiful yang menduga, laporan Usep beberapa waktu lalu bukan langsung ke BNP2TKI, tapi lewat orang ketiga. "Kalau laporan langsung, pasti tercatat di sini."
Sukrisna
KOMENTAR