Setelah itu, suamiku diminta ikut ke RS Tangerang untuk mengenali jasad yang ditemukan seorang penggembala kambing di sebuah jurang di daerah Cisauk. Ternyata benar, jasad yang sudah terbaring kaku itu adalah Livia. Berkali-kali aku pingsan, tersadar, lalu pingsan lagi. Sungguh tak kuat aku menghadapi kejadian ini.
Tak sampai selang sehari, kakak perempuanku mimpi Livia mendatanginya. Dia minta kalung Dewi Kwan Im miliknya dan sehelai baju merah. Karena kami sayang dia, kami kirim kalung dan bajunya ke alam Livia dengan cara membakarnya. Semoga dengan Dewi kesayangannya, Livia jadi tenang.
Semua kenyataan pahit ini membuatku terus bertanya-tanya, kenapa ada yang tega melakukan ini terhadap anak kami. Dia anak baik, pemalu, dan tak pernah pakai baju yang mencolok. Di rumah, kami sering berkaraoke bareng, menyanyikan lagu-lagu Mandarin. Setelah dia tak ada, aku tak bisa menahan sedih jika mendengar lagu Mandarin karena langsung teringat Livia. Dia juga sering membantu Papanya di perusahaan percetakan milik kami.
Ah, kalau saja aku tahu lingkungan sekitar kampusnya kurang aman, tak kuizinkan dia kuliah jauh-jauh. Biarlah dia kerja di rumah saja. Tapi Livia adalah anak yang mandiri, bahkan sekolah pun dia cari sendiri. Dia juga sudah ulet sejak muda. Waktu awal-awal kuliah, dia sudah mengajar Bahasa Mandarin di kursus Bahasa Mandarin di Pecenongan. Pernah juga mengajar di SMA Tarakanita. Karena keahliannya di bidang ini juga, dia sempat dapat tawaran kerja di PMA meski belum lulus kuliah.
Sampai hari ini aku terus berusaha mengikhlaskan kepergiannya. Aku yakin Tuhan sayang padanya dan ingin lebih dekat dengan Livia. Meninggal di usia muda, tentu dosanya tidak sebanyak yang lebih tua. Soal hukuman bagi orang-orang yang tega membunuh anakku, saya serahkan ke Yang Maha Kuasa. Saya tidak bisa menghukum manusia. Biarkan saja diurus pihak berwajib.
Aku hanya berharap Tuhan menerima Livia di sisi-Nya. Kami sekeluarga sembahyang, semoga dia terlahir kembali ke dunia dengan lebih tenang dan senang. Apalagi dia meninggal ada darah. Kami orang Budha percaya, kalau kami tidak membantunya, dia bisa terendam dalam bah darah. Mudah-mudahan dia bahagia di sana bersama Dewi Kwan Im kesayangannya...
Enam tersangka pelaku pencurian dan pembunuhan terhadap Livia, kata Kasat Reskrim Polres Jakarta Barat, AKBP Ferdy Sambo, SH, SIK, MH, sudah ditangkap. Dari keterangan yang berhasil dihimpun polisi, korban terakhir bertemu teman-temannya hari Selasa (16/8). Setelah berfoto-foto dengan teman-temannya, Livia naik mikrolet M 24 jurusan Srengseng - Slipi. Berdasar keterangan saksi, diketahui di kaca belakang mikrolet ada gambar Rolling Stone. "Setelah dilakukan penelusuran, ternyata ponsel korban yang hilang dijual tak jauh dari tempat kosnya. Yang menjual, supir tembak M 24 yang dinaiki korban."
Para tersangka itu, lanjutnya, merencanakan merampas ponsel dari korban yang dipilih secara acak. Jika korban melawan, akan dibunuh. Rupanya Livia penumpang pertama yang naik mikrolet. Jam 14.00 Livia dibekap dengan jaket, lalu diletakkan di belakang jok. Karena masih memberontak, leher korban dijerat dengan tali yang biasa dipakai mengikat barang. Nyawa Livia pun melayang.
Meski kejadian berlangsung di siang bolong, tidak ada yang melihat karena kondisi kaca jendela mikrolet gelap. "Setelah tersangka mengambil barang korban seperti ponsel, BlackBerry, dompet, dan uang Rp 200 ribu, mereka berencana membuang mayat korban ke suatu tempat. Saat melewati kawasan Serpong, A dan RS memperkosa Livia yang sudah tewas, setelah itu mayatnya dibuang ke Cisauk, Tangerang."
Dari peristiwa mengenaskan ini, Ferdy Sambo mengimbau kepada pemilik angkutan dan penumpang. "Pemilik angkot jangan sembarangan menyerahkan mikroletnya ke supir tembak dan dilarang memasang kaca hitam di angkutan umum. Bagi penumpang, berhati-hatilah saat naik angkutan. Kalau hanya sendirian sebaiknya waspada. Jika kacanya gelap sebaiknya jangan naik. Pilih angkutan yang lebih aman."
Laili Damayanti, Noverita K Waldan
KOMENTAR