Siang itu Hj. Nihayatun Nuroni (32) duduk lesehan di ruang tamu kediamannya, sementara sejumlah ibu-ibu tampak duduk di teras. Nihayatun, terlihat asyik merajut tepian kulit yang sudah dibentuk lonjong dengan lebar 2 cm dan panjang 5 cm. Kulit itu setelah dirajut rapi di bagian tepinya lalu dirangkai menjadi sebuah lembaran, sesuai dengan lebar tas yang sudah ditentukan. Dari lembaran demi rangkaian kulit itu, kemudian jadilah sebuah tas. Agar lebih sempurna, ia beri tali, ritsleting dan berbagai aksesori lain sebagai pemanis.
"Kalau dikerjakan dengan tekun, dalam sehari masing-masing orang bisa menghasilkan satu tas besar seperti ini," kata Nihayatun ketika ditemui di rumahnya, Rabu (3/8).
Rumah Nihayatun ini selain sebagi tempat tinggal, juga sekaligus dijadikan tempat produksi. Di teras rumahnya yang sederhana terdapat mesin pengupas kulit serta mesin untuk melubangi tepian kulit sebelum dirajut. Dan usahanya untuk menjadi seperti sekarang ini perlu perjuangan keras. Ia sendiri tak menyangka akhirnya menjadi perajin kulit yang lumayan sukses.
Menurutnya, semua ini berawal di tahun 2005. Saat itu, sebagai ibu rumah tangga Nihayatun tak mau tinggal diam di rumah. Ia lalu berusaha mencari uang tambahan dengan menjual tas produk Tanggulangin, Sidoarjo ke para tetanggannya. Setelah berjalan sekian lama, salahseorang temannya yang juga perajin di Tanggulangin, menginginkan limbah kulit bekas potongan-potongan tas bisa kembali dimanfaatkan dengan baik. Sebab, saat itu hanya bisa dijual kiloan dengan harga rendah.
Melihat tumpukan kulit itu, Nihayatun mencoba membawa pulang sebagian. Dia yakin, sepertinya bisa dijadikan tas atau dompet, dikombinasi dengan rajutan. "Kebetulan, saya dan warga kampung sini memang dari kecil sudah terbiasa membuat keterampilan rajut," ujar ibu tiga anak ini.
Sejak itu, sarjana perikanan ini bila ada waktu senggang mulai mengotak-atik potongan-potongan limbah kulit. Karena memiliki kemampuan merajut, ia terapkan aplikasi merajut di bagian tepian potongan kulit, hingga menjadi sebuah rangkaian lembaran yang lebar dan diperkirakan cukup untuk membentuk sebuah tas atau dompet yang diinginkan.
"Dulu, prosesnya makan waktu lama. Untuk bisa merajut dan jadi sebuah tas, butuh waktu sekitar setahun," ungkap Niahayatun, yang membuat usaha ini bersama suaminya, Fatkhur Rochman (43).
Ketika masih dalam proses belajar, segala sesuatunya masih serba manual. Untuk melubangi tepian kulit sebagai jalan jarum rajut, ia harus melakukannya satu per satu dengan paku. Tentu memerlukan waktu dan tenaga, serta harus telaten agar rapi. "Bila ingat perjuangan saya waktu itu memang tak mudah. Sekarang tinggal enaknya saja," katanya mengenang.
Namun, dulu Nihayatun sempat merasa tak percaya diri untuk menjualnya karena merasa hasil kerajinannya masih belum terlalu rapi. "Tapi saya sudah yakin, sih. akan bisa jadi kerajinan yang diminati banyak orang," imbuhnya. Merasa hasil karyanya belum rapi, Nihayatun setiap hari terus bereskperimen, hingga hasil karyanya betul-betul rapi dan bisa dinikmati.
Kendati sudah rapi, lagi-lagi model yang ia buat masih itu-itu saja. Alasannya, jika ingin membuat bentuk lain ia masih harus belajar lagi. "Dulu, jika ada orang pesan untuk dibuatkan tas dengan model tertentu, saya janji untuk mempelajarinya terlebih dahulu. Soalnya ilmu saya masih terbatas sekali," katanya sambil tersenyum.
KOMENTAR