Tak pernah terbersit dalam pikiran, tragedi seperti ini bisa menimpa keluarga kecil kami. Aku menyadari, yang namanya pertemuan, pasti ada perpisahan. Aku juga sadar, rezeki, jodoh, dan maut sudah ada yang mengatur. Tapi tetap saja perpisahan ini terasa begitu memilukan.
Hatiku makin perih setiap kali memandang wajah Adeela Arlyana Watary, Adeena Rilyana Watary, dan Adeeva Lilyana Watary. Wajah si kembar tiga ini kata orang sangat mirip Lily, ibu mereka yang sudah tiada. Kasihan anak-anakku, mereka tak sempat melihat dan mengenal ibunya. Bahkan Lily pun tak sempat menggendong dan melihat wajah mereka karena meninggal dunia setelah menjalani operasi Caesar demi melahirkan ketiga bidadariku ini.
Tiga Detak Jantung
Aku dan Lily membina rumah tangga sejak Oktober 2010. Kami bertemu di bangku SMA Al-Muhajirin Bekasi, tahun 2000. Walau berteman, aku dan Lily juga kerap beda pendapat dan saling berdebat. Lulus SMA, entah mengapa, setiap bertemu Lily ada rasa sayang yang makin lama semakin kuat. Setelah mengumpulkan keberanian, aku memintanya jadi kekasihku. Ternyata rasa cintaku bersambut. Kami kemudian kuliah di tempat yang sama, Fakultas Teknik Informatika Yayasan Administrasi Indonesia (YAI).
Hubungan kami pun semakin erat, hingga kami memutuskan menikah. Bahagia rasanya akhirnya bisa menyunting Lily. Dia adalah cinta sejati dalam hidupku. Dua bulan setelah menikah, tepatnya Desember 2010, Lily telat datang bulan. Kami kaget karena awalnya tak ingin cepat dapat momongan. Sebagai keluarga baru, kondisi keuangan kami memang belum stabil. Tapi yang namanya rezeki, tak baik ditolak.
Rupanya kejutan Tuhan untuk kami tak berhenti sampai di situ. Saat dua bulan usia kehamilan Lily, kami pergi ke dokter untuk periksa USG. Subhanallah, ada tiga detak jantung dalam perut Lily. Dokter menyatakan kami sedang menanti anak kembar tiga! Tak tergambarkan perasaan kami saat itu. Bahagia namun bercampur khawatir dan ketakutan. Tentu saja kami khawatir dan takut menyongsong masa depan tiga bayi ini. Seperti yang sudah kuungkapkan sebelumnya, kondisi keuangan kami belum stabil. Untuk membesarkan satu bayi saja, perlu biaya yang tidak sedikit.
Memang, secara garis keturunan, dari keluarga Lily ada yang pernah melahirkan kembar dua. Jadi, ya, sudah, kami terima kehamilan Lily dengan gembira. Kami kemudian disibukkan dengan membeli kebutuhan bayi dan mencari nama
Ketika dokter menyatakan jenis kelamin anak-anak kami nantinya perempuan, Lily sangat antusias. Semua keperluan bayi yang dibeli, dipilih warna merah muda. Kebetulan dia juga penyuka warna itu. Bahkan sampai sikat giginya berwarna merah muda.
Jika malam menjelang, kami kerap mengajak mereka ngobrol sambil mengelus-elus perut Lily. Betapa takjubnya kami setiap kali merasakan janin dalam perut Lily bergerak. Sungguh sebuah perasaan yang tak bisa dibeli. Kami juga sempat memperdengarkan karya musik Mozart agar perkembangan janin lebih baik.
Lucunya, setiap kali diperdengarkan Mozart, tiga bayi ini seakan enggan. Aku ingat sekali ketika itu Lily berkata, "Dedeknya enggak suka musik Mozart, tapi Hanson." Ya, memang sejak remaja Lily memang menyukai band yang terkenal dengan lagu 'Mmmbop' ini. Bahkan dia terbilang aktif dalam perkumpulan penyuka musik Hanson di Indonesia.
KOMENTAR