Semua berita di TV tentang Nazaruddin. Andai ia bisa lebih lama berada di Amerika Latin, namanya pasti akan ganti jadi Nazarudinho. Setelah itu ia akan kabur ke Jepang dan ganti nama jadi Nazaruto. Kabur ke India jadi Nazarukh Khan. Ngumpet di hutan jadi Tarzaruddin. Pindah ke Belanda jadi Nazar van Udin. Kalau ke Garut jadi Udin Zarudin. Pindah ke Italia jadi Nazzari Udinese. Kalau ke Manchester jadi Nazarooney. Dan... Di saat Lebaran yang berbahagia ini, ia bisa menjadi Nastarudin...
Guyonan di atas hanyalah satu dari sedikit satir yang belakangan marak berseliweran di BlackBerry Messanger (BBM) dan internet. Tak hanya kalimat-kalimat lucu bernada menyindir atau mengolok Nazaruddin, wajah sang politisi ini pun muncul dalam foto aneka gaya.
Nazar, misalnya, muncul bak Superman dengan pose heroik di depan bendera Partai Demokrat yang berkibar. Di lain kesempatan, ia terlihat sebagai penjaja roti merek Sari Roti. Soalnya, saat melakukan wawancara jarak jauh dengan sebuah televisi swasta, jingle iklan merek roti ini sayup-sayup terdengar.
Obyek Rekayasa
Yang jelas, Nazar bukanlah "korban" pertama. Sebelumnya sudah sering terjadi, setelah sebuah berita besar terkuak di media massa, susul menyusul guyonan dan foto lucu beredar di masyarakat. Yang paling heboh jadi "bulan-bulanan" adalah terbongkarnya kasus korupsi dan mafia pajak beberapa waktu lalu dengan tokoh utama Gayus Tambunan.
Berbulan-bulan, mantan pegawai Dirjen Pajak ini jadi obyek "kreativitas" anak negeri. Apalagi setelah pria yang seharusnya mendekam di tahanan ini tertangkap kamera fotografer Kompas sedang pelesiran di Bali dan menonton pertandingan tenis. Foto Gayus yang sedang menikmati pertandingan tenis dengan wig atau yang sedang memotret dengan handphone, langsung jadi obyek rekayasa foto hingga mengundang senyum dan tawa.
Tersangka kasus penipuan nasabah Bank Citibank, Melinda Dee, juga mengalami nasib serupa. Foto tubuhnya yang sintal, diubah sedemikian rupa hingga membuat orang yang melihatnya tersenyum geli meski mungkin di hati kecilnya merasa miris dengan nasib perempuan itu.
Apa, sih, penjelasan yang ada di balik fenomena "kreativitas" masyarakat ini? Kata pengamat sosial yang juga dosen Komunikasi UI, Effendi Gazali, fenomena itu terjadi karena saat ini bangsa Indonesia sedang berada di era tiga C, yakni Consumerism, Celebritisasi, orang suka narsis, merasa paling benar sendiri, dan ingin menjadi tokoh, serta Cynisme. "Orang melarikan diri dari kenyataan yang ada dengan bersinisme," kata penggagas tayangan Republik Mimpi ini saat ditemui Kamis (19/8) pekan lalu.
Bentuk sinisme ini, lanjut pria kelahiran Padang ini, bisa dalam bentuk foto, bahasa, dan lain sebagainya. "Kreativitas ini bisa begitu tersebar luas karena fasilitas teknologi komunikasi memungkinkan data tersebar secara cepat dan seketika. Begitu dikirim ke A, langsung dikirim lagi ke teman-temannya, akhirnya jadi ramai."
Munculnya ide-ide "jenius" masyarakat itu, lanjut Effendi, bisa saja bermuatan kritik atau sekadar lucu-lucuan belaka. "Kritik itu, kan, tujuannya untuk memperbaiki kondisi bangsa Indonesia yang sedang carut-marut. Biasanya orang akan 'serang' dulu, setelah itu baru ikut memperbaiki keadaaan."
Ia justru khawatir jika kreativitas itu hanya berhenti pada kritik dan menertawakan orang lain. Artinya, masyarakat hanya sekadar mengkritik tanpa mau ikut memperbaiki diri atau memberi solusi. "Pertanyaan selanjutnya, beranikah dia menertawakan diri sendiri? Jika melihat sesuatu tapi tak melakukan sesuatu, itu artinya seperti menertawakan diri sendiri," lanjut "Dik Pendi", panggilan Effendi di Republik Mimpi.
Jika kritik itu dilakukan terus-menerus tanpa ada upaya ikut memperbaiki diri, tambahnya, "Bisa-bisa malah jadi bumerang bagi diri sendiri. Dia akan dicap sebagai orang yang sinis. Sinis yang ekstrem, kan, justru negatif dan tak bermanfaat." Seharusnya, lanjut Effendi, kritikan juga diimbangi dengan penghargaan untuk tokoh yang dianggap mampu melakukan tugas dengan baik. "Kalau memang ada keberhasilan, ya, harus dipuji juga. Setelah itu, boleh 'dihantam' dengan kitik lagi," jelas Effendi sambil menambahkan, kreativitas foto dan joke yang selama ini beredar, "Basisnya semua ke sinisme masyarakat terhadap kondisi bangsa Indonesia. Jadi, bukan untuk lelucon."
Pendapat lain disampaikan aktor kawakan Ray Sahetapi. Ia menilai munculnya fenomena foto dan joke ini wajar saja karena zaman sudah bebas. "Orang bisa berekspresi apa saja. Dia (Nazaruddin) diwujudkan sebagai Superman karena 'berani' melawan presiden dan menantang tokoh partai besar. Menurut saya, itu kreativitas yang sangat baik."
Masyarakat, lanjut Ray, saat ini memang sedang gelisah menghadapi situasi yang benar-benar memprihatinkan. Entah dari sisi penegakan hukum maupun moralitas yang ada di masyarakat dan para pemimpin bangsa ini.
Kemunculan "karya-karya jenial" itu, lanjut Ray, justru membantu tugas seniman teater. "Selama ini teater yang suka mengeritik. Sekarang ada karya-karya lain. Entah itu berwujud gambar, foto, atau tulisan," lanjut Ray yang belakangan ini juga lagi getol mengampanyekan gagasan Republik Nusantara. "Sekarang ini, ibaratnya teater sudah turun ke jalan. Ini justru baik sekali."
Wujud kritik berbentuk joke dan gambar lucu seperti yang kini banyak beredar, lanjutnya, malah ditengarai Ray sangat menghibur dan menguntungkan masyarakat. "Karena kritiknya diwujudkan dalam karya seni sehingga tak ada kerusuhan atau sampai bakar-bakaran," lanjut seniman ini.
Hanya saja, stamina seseorang bisa lemah karena dijejali informasi atau kreativitas yang sama dari menit ke menit secara terus-menerus. "Kreativitas ini sebenarnya baik, hanya saja harus diimbangi dengan usaha yang lain." Ray menilai, fenomena munculnya kreativitas itu seperti budaya tisu yang sekali pakai lalu dibuang. "Informasi-informasi (yang terkandung dalam karya itu) akan terserap ke otak, tapi tak tertanam lama. Dua hari saja sudah hilang," jelas Ray.
Yang harus dilakukan, lanjutnya, adalah mengapreasiasi karya-karya tadi dengan kegiatan lain. Diskusi, misalnya. "Jadi, apa yang didapat itu lebih tertanam lama. Kita bisa tukar pendapat, menyerap informasi dari para tokoh lintas profesi," Selanjutnya, tutur Ray, informasi yang benar itu membuat kita bisa melakukan lebih baik. "Itu, kan, yang penting. Bangsa kita menjadi lebih baik."
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR