Jalur Gaza Nitikan
Satu lagi yang unik. Mendengar namanya saja akan membuat pikiran kita melayang ke Jalur Gaza di Timur Tengah yang sarat konflik itu. Tetapi, Jalur Gaza di Nitikan berbeda. Tak ada perang di sini karena Jalur Gaza tak lain singkatan dari "Jajanan Lauk Sayur Gubuk Ashar Zerba Ada" alias pasar sore. Pasar ini berada di ruas Jalan Nitikan yang lebih lebar daripada Jalan Jogokariyan. Bahkan kendaraan besar seperti bus juga bisa mengakses jalur ini.
Jalur Gaza baru terselenggara tiga tahun. Meski demikian, ada 130 peserta yang ikut meramaikannya. Mereka datang dari berbagai tempat di Jogja dan kebanyakan adalah para pedagang. Untuk peserta, panitia membangun lapak-lapak kecil yang terbuat dari bambu dan beratap daun kelapa kering. Tujuan utama diselenggarakannya program ini adalah sebagai pemberdayaan ekonomi pedagang.
"Kami belajar dari Jogokariyan. Selain itu, pertimbangannya karena jalannya lebih besar sehingga potensi lebih laku dan berkembang terbuka luas," ujar Ketua Panitia Ramadan M Akhid Subiyanto di sela-sela kesibukannya mengawasi kegiatan. Dijelaskan lebih lanjut oleh lelaki berjenggot panjang ini, saban harinya ada survei data pedagang yang mencatat perkembangan penjualan. "Di hari pertama puasa, omzet mencapai Rp 13 juta."
Untuk berjualan di kawasan ini tidak dipungut biaya, tapi diganti dengan mengisi kotak infaq yang keseluruhan hasilnya dikembalikan untuk keperluan masjid. "Sama sekali enggak ada uang untuk panitia," tegas Akhid yang mengoordinasi Jalur Gaza dibantu 15 panita utama dan 60 anggota.
Kawasan Nitikan memang terkesan lebih ramai karena panggung hiburan terletak di pinggir jalan. Anak-anak kecil dan orang dewasa tampak menikmati pertunjukan drum band dan grup band yang tampil. Tak jauh dari panggung, aneka jajan pasar, minuman, dan makanan berat digelar dengan harga beragam. Semua harga sangat terjangkau, bahkan masih ada makanan yang dijual Rp 500. Kue carabikang buatan Basir Supohutomo, misalnya, rasanya tak kalah enak dibanding kue berharga lebih mahal.
Satu lagi yang menarik di Jalur Gaza. Ada sepasang pria bernama Salim dan Arie yang menjual minuman khas tempat kelahirannya Pontianak. Es Borneo yang mereka jajakan cukup ramai peminat. Dalam segelas es ini berisi ketan hitam, bubur kacang hijau yang dicampur rumput laut, agar-agar, pepaya yang direbus dengan gula, cincau, kacang merah, kembang tahu, dan biji selasih. Semua bahan tadi diguyur kuah santan dan ditambah cairan gula merah yang dibumbui lengkuas dan kayu manis.
Es "gado-gado" ini cuma dibandrol Rp 3000 per gelas. Itu pun bisa beli dua gratis satu. Wah, promosi yang tidak takut rugi! "Sehari bisa menjual sekitar 400 gelas," kata Salim yang mengaku belum mempunyai gerai untuk berjualan es, lantaran terbentur modal dan SDM. Kesehariannya, Salim menjual susu kedelai keliling di Malioboro.
Lembah UGM
KOMENTAR