Kampung Kauman
Nah, di sinilah pelopor adanya pasar sore saat Ramadan di Jogja. Menurut sejarah, Kampung Kauman memiliki peran besar dalam gerakan agama Islam dari masa kerajaan hingga perjuangan RI. Kawasan santri ini terletak di pusat kota dan banyak dikunjungi saat bulan puasa tiba. Aneka kudapan, lauk-pauk, dan minuman dijual di sini. Untuk mencapai kampung kecil ini tidak sulit karena dekat dengan Malioboro, tepatnya di Jl KH Ahmad Dahlan. Gapura lengkung menghadap selatan merupakan pintu masuk utama.
Meski berupa gang sempit yang membuat pengunjung berjalan berdesak-desakan, tapi tak mengurangi antusiasme dalam berbelanja. Sesekali tercium aroma masakan yang mengundang selera. Salah satunya adalah dagangan lauk-pauk milik Tukinem Fathurrohim. Ibu tiga anak ini sudah 9 tahun berjualan di tempat ini.
Untuk menyiapkan masakan yang beragam tadi, Tukinem harus sudah memasak pada jam 7 pagi. Di samping itu, ia juga membuat Kicak, yakni kudapan khas Kauman yang hanya ada saat bulan puasa. Saban hari sebanyak 1,5 kilogram Kicak dijualnya. Penganan ini terbuat dari ketan putih kukus yang dicampur parutan kelapa muda, gula pasir, dan potongan buah nangka. Untuk menikmati si manis-legit ini, Anda cukup membayar Rp 2 ribu per bungkusnya.
Selain berbelanja di pasar sore, alternatif lain yang jangan dilewatkan adalah berbuka bersama di Masjid Gede Kauman. Masjid berasitektur Jawa ini merupakan masjid tertua di Jogja yang dibangun pada masa bertahtanya Sri Sultan Hamengkubuwono I di Kasultanan Ngayogyakarta. "Banyak acara digelar di masjid ini, antara lain kuliah Subuh, tadarus AlQuran, tarawih remaja dan anak-anak, juga donor darah bekerjasama dengan PMI," jelas Bendahara Panitia Ramadhan Muh Fauzi (50).
Diuraikan pula oleh Ramadhan, setiap harinya Masjid Gede menyiapkan takjil sebanyak 650 hingga 700 piring nasi untuk berbuka puasa, dilengkapi segelas teh hangat. Gulai kambing adalah menu khas yang dihidangkan setiap Kamis. Tak heran jika pada hari itu jamaah yang hadir makin banyak karena memang menyukai menu ini. Untuk menyiapkan takjil sebulan penuh dan pergelaran berbagai acara, panitia menyiapkan anggaran sebesar Rp 175 juta yang digalang dari banyak donatur.
Lokasi ngabuburit yang juga ramai pengunjung adalah Jogokaryan. Sudah tujuh kali Ramadan keramaian diselenggarakan di tempat ini. Program acaranya pun variatif. Dari lomba paduan suara lagu-lagu perjuangan, menghias gapura, parade bedug, pasar sore, tarawih bersama imam dari Palestina, dan masih banyak lagi. Berbeda dari Kauman yang khas dengan gang-gang sempitnya, jalan di Jogokaryan lebih lebar, sehingga memungkinkan pengendara mobil atau motor berlalu-lalang di sini.
Untuk dagangan yang ditransaksikan juga lebih beragam. Karena tak cuma menjual kebutuhan pangan, tapi juga sandang. Peserta yang mengikuti pasar sore tak hanya warga setempat. Misalnya rombongan mahasiswa dan mahasiswi dari Fakultas Farmasi UGM yang menjual lauk-pauk dan es cendol durian. "Setiap hari penjualannya naik. Es cendolnya selalu habis sebelum Magrib," kata Mehda Hefri Priwantoro mewakili teman-temannya. Segelas es cendol beraroma durian ini dihargai Rp 5 ribu, sedangkan lauk-pauk harganya variatif.
"Sayuran dan lauk yang kami jual juga bebas MSG, lho. Jadi kami berjualan sekaligus mengajak orang untuk hidup sehat," kata lelaki berkacamata kelahiran Sleman ini. Untuk memenuhi visi sehat itu, selembar plastik besar tampak selalu menutupi makanan agar terjaga kebersihannya. Untuk usaha ini, mereka patungan Rp 1,1 juta yang digunakan sebagai modal awal.
KOMENTAR