Terhadap asisten rumah tangganya, Dini juga mengajarkan menjahit di sela-sela tugasnya. "Selain mendidiknya jadi kreatif, saya menghargai jerih payahnya. Jadi, mereka bisa menabung dari kerajinan ini. Apalagi, produk capungmungil 100 persen jahitan tangan. Kecuali sarung bantal dan taplak harus pakai mesin untuk menyambungnya. Makanya jadi lama pengerjaannya dan harganya mahal."
Menurut Dini, produksi akan lebih cepat jika dikerjakan bersama-sama. "Kelemahannya, tekstur flanel itu berbulu, jadi harus dikombinasi kain katun. Dijahit mesin pun hasilnya jadi kaku, lebih bagus dan menarik pakai tangan. Atau dikombinasi benang sulam, manik-manik, atau kancing agar lebih hidup."
Capungmungil kini juga bisa ditemui di Alun Alun Jakarta dan Bandara Soekarno Hatta. "Moslem toys capungmungil juga sudha dijual di Amerika, lho. Ada warga muslim di sana yang punya usaha perlengkapan dan permainan muslim mengambil barang dari saya."
Harga produk capungmungil pun beragam. Misalnya tempelan kulkas dan boneka jari Rp 8 ribu, sajadah Rp 150 ribu, sarung bantal Rp 65 ribu. Harga akan berbeda jika pesanan didesain dengan rumit. Kendati demikian, Dini mengaku enggan meniru mentah-mentah produk yang sudah ada. "Harus dimodifikasi dan disesuaikan dengan ciri khas capungmungil," ujar Dini yang memiliki omset Rp 3-4 juta per bulan.
Pembelian akan meningkat saat banyak bayi lahir dan musim sekolah anak. "Begitu omzet turun saya cari peluang lain. Salah satunya kolaborasi dengan Bean Bag dan bemybean.com. Pemiliknya ada tiga orang, Cherie Anissa, Kiki Zakiya, Esthie Budiutami. Selama ini, kan, tampilannya selalu polos, nah saya ikut menambahkan aplikasi flanelnya. Ternyata menjadi bernilai lebih karena belum ada pesaing." Atau berkolaborasi dengan birthday organization membuat goodie bag. "Syaratnya, nama saya harus dicantumkan. Bagi saya itu sebuah penghargaan terhadap karya."
Sampai detik ini Dini tak menerima sistem keagenan, melainkan berjualan hanya lewat online. "Saya memang tidak mengejar produksi massal karena saya tergolong pembosan. Capungmungil ada di Alun Alun Jakarta pun karena di sana dijual barang-barang handmade berkualitas ekspor. Banyak yang minta jadi reseller, tapi susah sekali yang bisa dipercaya. Kadang label pembuatnya dicopot, diganti label agen. Bisa-bisa orang lebih mengenal agennya daripada pengrajinnya, kan."
Sebagai perajin, Dini mengaku sakit hati dengan tindakan seperti itu. "Bukan masalah omset, tapi ini soal apresiasi terhadap karya saya. Ini buah karya, lho! Apa yang dihasilkan hari ini belum tentu besok dibuat bentuk yang sama, harus selalu berbeda. Di situlah letak kepuasannya. Kata suami, sih, saya seniman yang kebetulan bisa berdagang. Makanya, saya harus bisa menghargai sebuah karya. Kalau tidak bisa menghargai, tidak bakal maju!"
Noverita K Waldan / bersambung
KOMENTAR