Sepeninggal Papi, saya harus kerja banting tulang. Saat itu saya berusia 14 tahun, apa pun saya lakukan, yang penting halal. Saya pernah jadi kondektur angkutan umum, pengamen dan loper koran. Hal itu saya lakukan karena keluarga besar almarhum Papi dan Mami tak ada yang bisa membantu. Mami sendiri masih belum bisa berbuat banyak karena masih berduka. Saya, Mami dan tiga orang adik harus hidup mandiri.
Beruntungnya, saya memiliki banyak teman. Almarhum Papi juga punya banyak teman. Papi enggak pernah pilih-pilih teman, baik itu pejabat atau gembel, ia mau bergaul. Itu mengapa jika saya kebetulan ada di wilayah sekitar rumah kami dulu, semua pasti mengajak saya mampir ke rumahnya.
Papi yang menanam kebaikan, anak-anaknya yang mengambil buahnya. Ketika Papi meninggal, yang mengantarkan jenazahnya saja banyak sekali. Bahkan ada yang datang dari Malaysia dan Brunei.
Pernah suatu kali saya tidak mendapatkan kerja, akibatnya kami sekeluarga terpaksa menahan lapar selama dua hari. Kami enggak ada uang sama sekali untuk sekadar membeli beras. Benar-benar enggak terbayang, deh, betapa sedihnya kami saat itu. Malam hari, ketiga adik saya menangis kelaparan. Adik saya yang paling kecil ketika itu masih berusia 6 tahun. Kami cuma punya sepeda mini milik adik. Saya enggak tega menjual sepeda itu. Akhirnya saya buka lemari baju Papi, mengambil beberapa potong dan menjualnya ke pasar untuk beli beras.
Dari situ, Mami kemudian memiliki ide untuk kembali ke panggung. Saya, Mami dan seorang adik Mami bergabung dan tampil di berbagai hajatan. Nama grupnya Putra Gepeng CS, kami keliling kampung melawak dan nyanyi campursari. Awalnya dibayar Rp 150 ribu sekali pentas, lama-lama harganya naik.
Karena keterbatasan biaya dan sibuk bekerja sana sini, ketika saya kelas 2 SMA, saya putuskan berhenti sekolah. Untuk menyiasati tawaran main film yang kadang dapat kadang tidak, saya lalu gabung di sebuah yayasan di Jogja. Di situ saya dapat pelatihan, salah satunya teater. Tak lama kemudian saya melamar kerja di sebuah bank swasta. Beruntung, saya diterima jadi kurir dengan gaji Rp 750 ribu per bulan.
Baru kerja seminggu, saya ternyata direkrut teman-teman almarhum Papi untuk ikut main di Srimulat. Ketika itu saya diajak Pak Basuki, Pak Asmuni dan lain-lain. Pak Basuki malah memberi saya tempat untuk tinggal di rumahnya. Saya ingat betul, ketika itu beliau bilang, "Sudah, ikut saja tinggal di rumah saya. Gaji main di Srimulat dikirim saja semua ke keluarga di Solo. Makan dan tempat tinggal, nanti sama saya."
Setelah tinggal di Jakarta, saya semakin sering dapat tawaran main di berbagai stasiun televisi. Termasuk di TVRI, sekitar tahun 1998. Di sebuah acara, saya main bersama seorang gadis bernama Dwi Sri Sumiati. Sejak pertemuan itu, saya jadi tak bisa melupakannya. Mungkin itu yang namanya cinta pada pandangan pertama, ya? Alhamdulillah, dia pun memiliki perasaan yang sama. Kami lalu berpacaran. Dua bulan pacaran, kami pun menikah.
Setahun kemudian istri hamil dan melahirkan putra pertama kami, Fajar Yoggy Arianto. Sekarang dia sudah SMA. Karena keadaan ekonomi saya masih belum stabil, kami menunda punya anak lagi. Sampai kemudian menyusul Delliana Cleo Shifani, sekarang kelas 1 SD. Lalu disusul anak ketiga, Davin Ajisaputra Al-Ikhlas (4), dan yang baru lahir kemarin, Gendhis Aji Berlliana.
KOMENTAR