Ketenaran nama Kota Gresik, sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Di kota yang berjarak 18 kilometer dari sebelah barat Surabaya ini terdapat makam Syeh Maulana Malik Ibrahaim atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Giri, salah satu dari sembilan wali yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Karena itu, tak heran bila Gresik juga mendapat julukan sebagai Kota Santri.
Selain identik dengan berbagai julukan tadi, Gresik juga memiliki kekhasan di bidang kulinarinya. Rasanya pun khas dan layak untuk dijadikan oleh-oleh.
NASI KRAWU
Siapa pun yang datang ke Gresik, hampir pasti yang dicari pertama kali untuk "mengganjal" perut adalah nasi krawu. Makanan yang satu itu menjadi ciri khas kota ini sehingga banyak sekali para penjual menjajakan nasi krawu andalannya di setiap sudut kota. Dan, dari sekian banyak penjual itu salah satu yang paling terkenal adalah Nasi Krawu Ibu Maria, atau lebih dikenal dengan panggilan Mbuk Tiban, yang warungnya terletak di Jl. H. Abdul Karim 60. Di warung makan sederhana ini, setiap hari sejak pagi hingga malam selalu dipenuhi pembeli yang datang dari berbagai kota.
Nasi krawu ini terdiri dari nasi putih yang diberi potongan daging sapi kering ditambah jeroan sapi, seperti babat yang disemur, serta sambal petis. Yang khas lagi dari nasi krawu, selalu ditaburi dengan tiga macam serundeng. Yaitu serundeng warna merah, kuning dan coklat. Untuk serundeng warna merah, dibuat dari parutan kelapa yang disangrai, serundeng kuning dibuat dari parutan kelapa yang diberi kunyit, sedangkan serundeng cokelat berasal dari parutan kelapa yang diberi bumbu keluak (kluwek). "Masing-masing serundeng memiliki aroma yang berbeda," kata Mbuk Tiban.
Menurut Mbuk Tiban, nasi krawu pada awalnya dijual secara berkeliling di dalam pelabuhan Gresik untuk dikonsumsi para pekerja pelabuhan. Setelah makin populer, kemudian oleh Pemerintah Gresik, makanan yang cara penyajiannya mengunakan pincuk atau alas daun pisang itu "dinobatkan" sebagai makanan khas Gresik. "Begitulah cikal bakal, adanya nasi krawu," imbuh wanita yang kini menyerahkan pengelolaan warung makannya kepada anak dan menantunya.
Mbuk Tiban lantas berkisah, pertama kali mulai berjualan nasi krawu sekitar tahun 1985. Ketika itu ia belum memiliki warung permanen, sehingga setiap hari harus berjualan di Pasar Gresik, juga berkeliling keluar-masuk kampung. Karena masakannya terkenal enak, lama kelamaan makin banyak pelanaggannya. Setelah memiliki warung permanen yang ia sewa hingga sekarang, kelezatan nasi krawunya makin hari makin dikenal. Mereka yang datang untuk menikmati nasi krawu Mbuk Tiban tak hanya berasal dari Gresik, tapi kebanyakan justru berasal dari luar daerah.
Pada dasarnya, lanjut Mbuk Tiban, bumbu yang dipakai untuk membuat nasi krawu di antara satu penjual dengan lainnya adalah sama. Yang membedakan adalah ukuran bumbunya yang tak bisa ditiru. "Soal rasa itu tergantung tangan masing-masing orang,d an itu tidak bisa dicontoh," ujarnya. Saking ramainya warung miliknya, sekarang buk Tiban sudah membuka cabang di Jl. Veteran, Gresik. "Yang mengelola di sana, anak saya," pungkasnya.
Gresik juga memiliki kudapan yang khas dan terkenal sebagai oleh-oleh, yaitu kue pudak. Kue ini mirip makanan yang biasa disebut dodol atau wajik. Selain rasanya yang legit dan gurih, bentuk kemasan kue pudak juga tidak kalah unik. Kue yang bahan dasarnya terbuat dari tepung beras, santan serta gula putih itu dikemas di dalam pelepah pohon pinang yang dijahit pingirnya. Bentuk kue pudak berupa setengah oval seukuran kepalan tangan orang dewasa. "Pelepah pohon pinang itu memberi aroma khas, mirip aroma kulit jagung pada kuenya. Itu salah satu yang membuat rasa kue pudak semakin enak," kata Suharsih (54) pembuat kue pudak Cap Kuda.
Pelepah pinang memiliki kelebihan dibandingkan pelepah tanaman lain. Selain lentur, lembaran pelepah pinang di lapisan dalamnya menyerupai lapisan plastik yang secara alami dapat mengatur suhu kue pudak. Ketika dimasuki adonan kue pudak yang masih panas, kue akan segera kering karena lapisan yang mirip plastik itu memiliki pori-pori sehingga mempercepat proses penguapan. "Kita pernah mencoba menggunakan pelepah pisang, tapi tidak berhasil. Karena pelepah pisang akan membuat kue pudak jadi pecah setelah kering," papar ibu seorang anak itu.
Hanya saja, pelepah pinang yang dipasok dari Jember itu agak sulit dicari bila memasuki musim penghujan. Sebab pohon pinang batangnya licing sehingga sulit untuk dipanjat. Kelemahan lainnya, tidak boleh menyimpan terlalu lama sebab dikhawatirkan akan mudah berjamur. "Makanya, bila musim penghujan datang, harga kue pudak jadi sedikit agak mahal," jelas Suharsih lagi.
Soal rasa, kue pudak ini juga mengalama sedikit perubahan karena proses memasaknya menggunakan gas elpiji. Dulu, ujar Sunarsih, memasaknya menggunakan kayu bakar sehingga meninggalkan aroma yang khas. "Sejak sebulan lalu, kami terpaksa menganti pakai bahan bakar elpiji, soalnya kayu bakau atau mangrove yang biasa digunakan untuk memasak, kan, sudah dilarang diambil karena dibudidayakan untuk penyelamat pantai," imbuhnya.
Wanita yang dulu pernah menjadi sekretaris di sebuah perusahaan ini mengaku tak tahu persis sejarah awal kue pudak. Tetapi, dahulu neneknya, Ny. Tjio, memulai merintis usaha pembuatan kue pudak sejak 1950. Kala itu, ibunya yang warga keturunan Tionghoa itu tak punya penghasilan, lalu oleh kerabatnya diajari membuat kue pudak. Itulah kisah cikal bakal keluarganya memproduksi kue pudak, yang bertempat di Jl. Satsuit Tubun, Gresik.
Setelah sang nenek meninggal dunia, usaha kue pudak ini kemudian dilanjutkan oleh ibunya, Hariyati. Baru pada tahun 2005, usaha itu dikelola oleh Suharsih. "Tapi sebenarnya saya sudah ikut mengelola sejak 1987 lalu. Resminya baru tahun 2005," papar Suharsih.
Setiap harinya, Suharsih bisa menghabiskan sekitar tiga puluh ikat kue pudak, yang masing-masing ikat berisi 10 kue pudak. Semakin ramai pembelinya, ketika tiba musim haji atau Lebaran. Jumlahnya bisa tak terhingga karena membuatnya sesuai pesanan. "Kue pudak itu tidak bisa di stok, soalnya hanya bisa bertahan sekitar 2-3 hari saja. Kecuali bila dimasukkan ke dalam kulkas. Soalnya saya bikinnya sama sekali tidak pakai bahan pengawet," ungkap Suharsih, yang setiap ikat kue pudaknya dijual seharga Rp 25 ribu.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR