Kapan mulai tertarik dunia fashion?
Sejak SD saya sudah hobi menggambar. Ada satu komik, The Rose of Versailles, dengan tokohnya Marie Antoinette yang sangat mempengaruhi guratan sketsa saya. Masuk SMP, hobi ini tetap dilakukan, bahkan di saat sedang menerima pelajaran. Untungnya prestasi belajar tetap bagus. Di SMU, saya makin ketagihan hingga sering disindir guru. Seorang guru bilang, "Kalau saya punya talenta seperti kamu, saya enggak akan sekolah di sini. Lebih baik saya sekolah fashion." Baru enam bulan sekolah di SMU unggulan, saya utarakan keinginan kepada orangtua untuk serius menekuni bidang fashion. Tak dinyana, mereka mendukung dan memberi kepercayaan penuh. Lalu, saya les fashion ilustration.
Sejak itu, saya jadi tahu tentang konsep dan pembentukan karakter gambar. Dan mendaftar ke sekolah fashion Esmod. Tapi, disarankan les menjahit. Jadilah saya ikut kursus singkat di Bunka School of Fashion Jakarta (2003-2004). Eh, malah keasyikan. Sayangnya, sekolah di Bunka juga tidak tamat. Mungkin karena karakter saya pemberontak, ya. Kemudian, saya sempat ambil kelas di Phalie Studio Jakarta (2004-2005).
Lalu, apa yang dilakukan setelahnya?
Sempat ingin bekerja di tempatnya desainer Sebastian Gunawan, tapi saya tak punya bekal ijazah sekolah mode. Lalu saya ikut fashion show dan lomba untuk menyalurkan idealisme. Pada 2003, saya jadi salah satu finalis Concours International de Jeunes Createurs de Mode Indonesia, ajang lomba para siswa fashion designer yang diselenggarakan Majalah Dewi. Saya lalu dikirim ke Paris untuk diadu bersama desainer dari berbagai negara.
Di ajang Mercedes-Benz Asia Fashion Award 2005 di Singapura, saya meraih gelar juara dengan koleksi bertajuk "Dualism." Total selama tiga tahun saya aktif ikut lomba. Sedangkan karier profesional baru dimulai pada 2006-2009. Karena dianggap desainer baru, kebanyakan klien datang membawa contoh baju dari majalah dan minta dibuatkan sama persis. Lalu Juli 2010, saya ikut fashion show Rejuvenate Fashion Regeneration bersama Albert Yanuar, Hian Tjen, dan Imelda Kartini. Ketiganya alumnus Lomba Perancang Mode (LPM). Saya sempat minder dan pesimis, karena selama bertahun-tahun hanya menangani klien sehingga tidak mengikuti perkembangan dunia fashion. Tapi, harus saya akui, di sini saya ikut show untuk balas dendam dengan menampilkan karakter asli desain rancangan saya.
Seperti apa rancangannya?
Karakternya kental bernuansa grande, dramatis, complicated. Karya saya "My Courtesan" terinspirasi komik dan film Moulin Rounge, yang menunjukkan sensualitas tubuh melalui permainan korset dan potongan dramatis. Total 17 baju dikerjakan dalam enam bulan. November 2010 saya terpilih sebagai salah satu desainer yang tampil di acara Dewi Fashion Knight, event pamungkas Jakarta Fashion Week 2010 (JFW).
Delapan koleksi saya bertajuk "La Glacons" yang berarti "The Icicles" (es) terinspirasi dari wanita, yang karakternya sekilas terlihat rapuh, namun sesungguhnya bisa menjadi sangat kuat dan melukai. Nah, dari acara itu nama saya mulai 'keluar' hingga ke mancanegara. Dan oleh seorang blogger selebriti Perez Hilton, rancangan saya dikomentari di blog fashion-nya, Cocoperez.com.
Banyak yang berkomentar desain baju saya ekstrem dan di luar pangsa pasar Indonesia. Kasarnya, tak komersil lah. Ketika membuat desain saya memang tak terpikir untuk menjualnya atau memikirkan siapa yang mau pakai. Sebagai bentuk idealisme, baju yang saya buat harus punya nilai seni. Kalau mengikuti yang sedang tren di pasar, tak ada bedanya saya dengan desainer lain.
Siapa ikon fashion yang dikagumi?
Dari Indonesia saya suka rancangan Biyan, Sebastian Gunawan, dan Edi Betty. Februari 2010 lalu Alexander Mc Queen meninggal dunia, dan karya saya banyak disamakan dengan beliau. Pantas atau tidak, rasanya masih jauh bila disamakan dengan fashion legend seperti dia. Tersanjung, sih, pasti. Bahkan saya makin termotivasi dalam berkarya. Idola saya lainnya adalah Valentino. Saya mengagumi karakter karyanya yang elegan, digemari, namun tetap berbeda.
Oh ya, bagaimana Lady Gaga sampai tahu rancangan Anda?
Setelah show di JFW, teman-teman menyarankan saya menawarkan baju itu ke Lady Gaga. Lalu saya kirim email ke stylist Lady Gaga, Nicola Formichetti. Tak sampai 24 jam langsung dibalas. Malah dia sudah tahu rancangan saya dan minta disiapkan kostum untuk sampul album Born This Way di London.
Selain profesional, mereka juga punya tim di London, New York, dan Asia yang kooperatif. Saya hanya tinggal siapkan baju untuk dikirim. Sayangnya, baju itu baru tiba di London satu hari setelah pemotretan. Sempat kecewa dan sedih karena baju akan segera dikembalikan. Namun, selang beberapa menit ada email masuk lagi, ternyata Lady Gaga tertarik pada baju saya dan ingin menyimpannya.
Koleksi 7 baju "My Courtesan" itu lalu diterbangkan ke New York untuk dipakai pemotretan cover majalah Harper's Bazaar edisi April 2011. Saya hanya melihat notifikasi tag foto di Facebook tanpa tahu siapa model yang memakainya. Begitu lihat di komputer, saya kaget banget karena ternyata Lady Gaga sendiri modelnya. Malam itu juga BBC London mewawancarai saya dan nama saya sempat jadi trending topic di Twitter. Sejak itu, media luar banyak yang menghubungi.
Berapa Anda dibayar untuk baju itu?
Saya cuma menyediakan baju dan mengemasnya dalam kardus. Bajunya sampai sekarang masih ada di Lady Gaga dan belum tentu dikembalikan. Bila dihitung, nilai pengiriman 7 baju ke London saja sudah di atas Rp 100 juta. Dan baju yang dipakai di cover majalah itu sebenarnya bukan baju yang diminta Nicola. Karena ada yang tidak cocok dan khawatir sulit dipakai, jadi saya sertakan baju tambahan. Ternyata instuisi saya benar, malah baju yang tidak dipesan lah yang dipakai.
Ade Ryani HMK / bersambung
KOMENTAR