Dalam menjalani usaha, aku percaya pada filosofi orang Cina, lebih baik kerja keras selama lima tahun lalu berujung bahagia, daripada lima tahun foya-fota tapi berakhir sengsara. Sejak mahasiswa, aku sudah bekerja keras. Aku tak malu menjalani berbagai usaha. Malah, aku sampai dijuluki Si Pengusaha Mahasiswa. Teman-temanku pun bersimpati pada setiap jenis usaha yang kulakukan.
Perjalananku melakukan berbagai usaha berujung ke properti. Ini bisnis yang menjanjikan. Rumah, kan, kebutuhan masyarakat. Karena modal terbatas, aku membidik perumahan bagi masyakarat kelas menengah ke bawah. Percaya tidak, masih puluhan juta orang yang belum punya rumah, lho. Tiap tahun kebutuhan rumah mencapai 800 ribu. Artinya, peluang masih sangat besar.
Masalahnya, dari mana dapat modal? Nah, aAda sahabat yang punya kerabat orang kaya. Dia punya banyak uang buat modal. Kebetulan, dia bersedia membantu sebagai pemberi jaminan. Di saat bersamaan, ada tanah di kawasan Pasir Orai, Bogor seluas 4,5 hektar yang akan dijual. Harganya Rp 1 M lebih. Atas jaminan saudara teman itu, aku ambil KTA (Kredit tanpa Agunan) di bank senilai Rp 150 juta. Setiap bulan, aku yang waktu itu masuk tahun ketiga kuliah, harus mengangsur Rp 8,7 juta selama dua tahun.
Namun, sepertinya Allah tak mengizinkan aku dapat uang dengan cara seperti ini. Orang yang akan memberi jaminan itu meninggal dunia. Tapi, aku tetap harus mengangsur Rp 8,7 juta itu. Allah memang luar biasa. Di satu sisi, Dia menutup pintu, tapi di sisi lain, Dia membuka pintu lain.
Karena dipaksa keadaan harus membayar cicilan KTA, aku mesti kerja keras. Potensi diriku pun keluar. Aku sempat bekerja jadi tenaga sales sebuah perusahaan developer. Selama setengah tahun bekerja, aku sanggup menjual 40-an unit rumah kepada konsumen. Yang lebih penting lagi, di sanalah sesungguhnya aku sekolah wirausaha. Aku belajar dari pengalaman. Mulai dari bikin presentasi, pemasaran, sampai pernak-pernik pekerjaan developer.
Dengan bekal pengalaman sebagai karyawan perusahaan pengembang ditambah ilmu dari Bapak sebagai kontraktor, aku memberanikan diri ikut tender rehabilitasi sebuah sekolah di Jakarta Barat. Sungguh bersyukur, aku berhasil menangani proyek ini dengan baik. Cicilan KTA pun berhasil kuangsur.
Bersama lima sahabat, aku mencoba mengumpulkan modal, sampai akhirnya terkumpul Rp 340 juta. Teman-teman kujadikan investor. Langkah awal yang kulakukan, melobi pemilik rumah agar tanahnya bisa kami beli dengan cara mengangsur. Jalan makin mulus, lobiku berhasil. Kelak, dalam waktu 1,5 tahun aku dan kawan-kawan berhasil membayar lunas harga tanah senilai Rp 1,7 M itu.
Di lahan seluas 4,5 hektar, Elang Grup (nama Elang kupakai untuk nama usahaku) membangun sekitar 450-an unit rumah. Hanya ada dua tipe yakni tipe 22 (luas tanah 60 m2) dan 36 (luas tanah 72 meter2). Harganya terjangkau masyarakat kecil. DP-nya Rp 1.250 ribu dengan angsuran sebulan tak sampai seratus ribu selama 15 tahun.
Memang, sih, awalnya lokasi perumahan ini tidak bagus. Kata orang, tempat jin buang anak. Namun bagi masyarakat, rumah adalah kebutuhan. Mereka tetap mengejar sepanjang harganya terjangkau. Dengan bisnis ini, aku sekaligus membantu mewujudkan mimpi masyarakat. Terbukti, perumahan Elang Grup cepat diterima masyarakat. Hanya dalam waktu 1,5 tahun, unit pertama habis terjual.
Kini, sudah ada tiga tahap pengembangan. Aku sudah ambil 13 hektar tanah lagi. Lagi-lagi, unit perumahan baru ini juga mendapat respons hangat dari masyarakat. Sekarang, kawasan ini sudah bisa dijangkau angkutan umum, seiring dengan makin berkembangnya wilayah perumahan itu.
KOMENTAR