Senin (27/6) lalu, ratusan orang, pria dan wanita, bersimpuh di hadapan Raja SISKS Paku Buwono XIII. Mereka menggunakan pakaian adat keraton. Kaum Hawa mengenakan dodotan, sementara yang pria dibalut beskap. Dengan takzim mereka mengikuti rangkaian acara pemberian gelar dari keraton, sebuah seremoni yang dianggap sakral. Hari itu mereka dianugerahi gelar oleh sang raja, baik karena dianggap berjasa maupun karena secara garis keturunan dianggap layak menerima gelar tersebut.
Tak ada yang aneh, sebetulnya, dengan upacara yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu kala itu. Jika kemudian menjadi gunjingan dan muncul berita tak sedap, karena kesakralan upacara pemberian gelar ini seakan ternoda. Konon, banyak di antara penerima gelar itu yang mendapatkannya karena ditawari dengan catatan harus membayar sejumlah uang yang tak sedikit. Gelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) untuk pria dan Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) untuk wanita, menurut desas-desus, bisa diperoleh dengan "tebusan" uang Rp 25 juta ke atas.
Padahal, seperti dituturkan GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani (38), gelar kebangsawanan dulunya hanya diberikan kepada mereka yang masih memiliki garis keturunan dengan Paku Buwono I - XII. Sebagai tanda penghormatan, tokoh masyarakat yang dianggap berjasa kepada Keraton Kasunanan Surakarta juga bisa memperolehnya. Termasuk orang asing yang dianggap memiliki kontribusi yang signifikan untuk Keraton. "Seperti Kanjeng Mas Ayu Budayaningrum Fumiko, orang Jepang yang mendalami seni tari dan gamelan, sekaligus memberi dukungan pembiayaan untuk menghidupkan seni dan regenerasi budaya. Ia juga menikah dengan Yogo, seorang abdi dalem penabuh gamelan."
Gelar juga bisa diperoleh dengan cara melamar ke Keraton dengan mengisi formulir dan sebagainya. Untuk biaya administrasinya, tergantung dari permintaan jenis gelar dan hanya dilakukan sekali di awal. "Dari situ orang berpikir, gelar keraton diperjualbelikan. Padahal, bukan seperti itu. Kami akui biaya perawatan keraton dan setiap mengadakan perhelatan, kan, tidak sedikit. Jika hanya mengandalkan dana Pemerintah, tidak akan cukup. Salah satu caranya, ya, seperti ini. Kami butuh support untuk memajukan keraton dan mengenalkannya kepada dunia luar. Itu yang lebih penting." Toh, lanjut Timoer Rumbai, "Kami tidak mengobral gelar sembarangan. Dari Keraton ada tim penilai untuk masing-masing tingkatan. Yang dilihat, antara lain jabatan di masyarakat, kontribusi, dan pengetahuan tentang keraton, juga kepribadian."
Belakangan, pemberian gelar ke sejumlah artis ternama juga membuahkan tanda tanya. Tahun lalu, misalnya, keraton memberi gelar kebangsawanan kepada presenter Tina Talisa, Lula Kamal, Rossa, dan Nadine Chandrawinata. Sebesar apa peran dan kecintaan si artis kepada keraton, sehingga mereka layak diberi gelar kehormatan? "Tujuannya bukan untuk mendompleng ketenaran mereka, namun lewat perannya, si artis bisa semakin memperkenalkan keraton kepada masyarakat luas. Bisa dibilang sebagai duta keraton lah," papar Timoer. Bagaimana jika si artis berperilaku tak pantas setelah diberi gelar? "Ya, bisa ditarik lagi gelarnya."
Konsekuensi pemberian gelar, menurut penjelasan Dra. GKR Kus Murtiah Wandansari, Mpd. yang akrab disapa Gusti Moeng, penerima gelar wajib menjalankan yang sudah diperintahkan dan berperilaku sesuai budaya. "Titah keraton ini sifatnya seumur hidup. Jika melanggar dan tak bisa ditoleransi, bisa dicopot. Kami memang perlu mereka, tapi bukan berarti sembarang menerima bantuan dan memberi gelar."
Ia menambahkan, pemberian gelar sudah dilakukan sejak tahun 1982 kepada tokoh masyarakat tertentu dan mulai diberikan secara luas tahun 1994. "Kami merekrut karena keraton secara politik sudah tidak berperan, jadi kami ingin menyadarkan dan memohon kepada masyarakat luas yang masih peduli kepada keraton dan kebudayaannya," ungkap salah satu putri Paku Buwono XII ini.
Lantas, benarkah gelar terhormat ini kini diperjual-belikan oleh oknum keraton? "Intinya, jika tidak dilakukan di keraton, artinya ilegal dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, bisa dituntut. Kami tidak takut, meskipun oknum yang melakukannya adalah orang dalam, salah satunya kakak saya," lanjut Moeng yang menolak menyebutkan nama sang kakak. "Yang jelas, dia sudah beberapa kali kami beri surat teguran."
Sang kakak rupanya membentuk semacam Event Organizer (EO) dan mencari orang yang ingin mendapat gelar meski harus membayar sejumlah uang. Gusti Moeng berasumsi, EO ini menjaring dalam acara awarding sehingga memiliki database orang-orang kaya dan tersohor. "Jelas keraton akan memberi sanksi. Bentuknya, bisa dikucilkan dari keraton dan selanjutnya diproses secara hukum."
Lain lagi penjelasan KGPH Benowo, Wakil Pengageng Museum dan Pariwisata Surakarta. Katanya, sudah jadi rahasia umum para penerima gelar pasti membayar. Istilahnya, sumbangan sukarela. "Sinuhun memang menugaskan seseorang di Jakarta untuk mencari orang yang pantas diberi gelar. Rekomendasi itu lalu diberitahukan kepada Sinuhun," ungkapnya. Namun, "Bukan berupa EO seperti yang ramai diberitakan. Orang itu ditunjuk khusus atas perintah Sinuhun."
Besarnya sumbangan sukarela itu, kata Benowo, tergantung tinggi-rendahnya gelar yang berjumlah 12 tingkat itu. Makin tinggi tingkatnya, tentunya makin mahal. Untuk tingkat terendah, umumnya penerima gelar menyumbang hingga Rp 300 ribu. "Tapi tergantung dari lobi juga soal besar-kecilnya sumbangan. Yang pasti, semua bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan demi kelangsungan hidup keraton yang memerlukan dana tak sedikit. Baik untuk perawatan sehari-hari maupun biaya upacara yang secara rutin diadakan."
Ia memberi gambaran, untuk biaya listrik per bulan saja, berkisar Rp 10-30 juta. Selain itu, masih ada pengeluaran untuk sesaji yang ditaruh setiap hari di tiap sudut Keraton, "Seminggu bisa menghabiskan Rp 1,5 juta." Padahal, sumbangan dari Pemerintah sangat jauh dari mencukupi. "Makanya keraton defisit terus," keluhnya.
Ade Ryani / bersambung
KOMENTAR