Seakan ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa kehidupan di balik keraton masih ada, Keraton Art Festival kembali digelar pada 25-26 Juni 2011. Rangkaian acara diadakan, sekaligus untuk memeriahkan peringatan kenaikan tahta yang disebut Tingalandakem Jumenengan ke-7 SISKS PB XIII Hangabehi. Peringatan ini jatuh pada Senin (27/6).
Sabtu (25/6) setelah acara pembukaan, digelar aneka acara mulai dari kuliner, konser karawitan, srimpi sukarsih, lawung kasenopaten, tohjoyo rewantoko yang berlangsung hingga malam hari. Lalu pada Minggu (26/6) acara diawali dengan pemberian gelar kehormatan berbagai tingkatan. Tujuh gelar Abdi Dalem di Bangsal Smorokoto diberikan kepada sejumlah pejabat dari Provinsi Lampung.
Sedangkan di Bangsal Sidikara Kasentanan diberikan 400 gelar untuk kalangan Sentana Dalem (kerabat), yang dilihat dari garis keturunan (silsilah) maupun jasa-jasa pada keraton. Acara dilanjutkan dengan dialog budaya bertemakan "Menjalin Kebhinekaan Menjaga Persatuan Nusantara," sebentuk kerja sama antara Keraton Surakarta dengan Pemerintah Provinsi Lampung.
Keraton identik sebagai tempat yang mempunyai makna spiritual yang tinggi. Salah satu unsur tersebut terlihat dalam pementasan tarian sakral Bedhoyo Ketawang. Menjelang sore, para penari bersiap-siap menjalani ritual khusus. Sebagai tarian sakral, terdapat beberapa aturan dan upacara ritus yang harus dijalankan oleh penghuni keraton juga para penari.
Wajah mereka dirias paes ageng dan dipingit sehari sebelum menari. Ke-9 penari ini juga diharuskan menghadap empat arah mata angin untuk memohon izin sambil menyajikan sesajen. Sesajen ini bernama caos dahar. Selain itu, putri-putri yang ikut menari ini diwajibkan masih berstatus gadis dan menjalankan puasa tertentu sebelum melakukan tarian.
Malam harinya, berlangsung pertukaran dua kebudayaan Surakarta dan Lampung di Pendopo Sitihinggil. Sejumlah kesenian seperti Konser Karawitan, Bedhaya Kirana Ratih, Fragmen Arjuna Wiwoho dipentaskan bergantian untuk menghibur para undangan dan masyarakat.
Pendopo Ageng Sasono Sewoko di Keraton Surakarta menjadi tempat berlangsungnya acara Tingalandakem Jumenengan ke-7 SISKS PB XIII Hangabehi. Acara yang dimulai sejak Senin (27/6) pagi ini diikuti para putra-putri raja, kerabat keraton, abdi dalem, pejabat, tamu undangan, dan masyarakat. Serangkaian kegiatan dilaksanakan agar tata cara dan upacara adat ini lebih memberikan makna, tidak saja sebagai salah satu simbol khasanah budaya Jawa.
Ketika upacara dilaksanakan, juga dipentaskan Tari Bedhoyo Ketawang selama 1,5 jam. Tarian itu melambangkan hubungan antara Raja Mataram dengan Kangjeng Ratu Kidul, penguasa laut selatan. Dengan diterangi lampu Robyong Kyai Remeng, Tari Bedhoyo Ketawang dipentaskan di hadapan raja dan tamu.
Saat tarian Jawa klasik ini dipentaskan, raja tampak kerap memperhatikan dan larut dalam keadaan sakral. Tamu undangan diharapkan juga demikian. Hal itu mempunyai makna, sampai di sini langkah manusia harus lebih waspada dan diusahakan dengan sabar menahan hawa nafsu. Sebab tempat itu adalah lokasi bersatunya rasa yaitu alam yang sunyi, kekal, dan tenang.
Sembilan penari terdiri dari delapan putra-putri yang masih memiliki hubungan darah dan kekerabatan dari keraton. Konon, di dalam formasi tarian, penguasa laut selatan ikut menari sebagai tanda penghormatan kepada raja-raja penerus dinasti Mataram. Tarian yang dibawakan sembilan penari wanita ini menggambarkan perjalanan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Angka 9 sebagai simbolisasi unsur pengendali nafsu manusia, dimana ada 9 unsur hawa nafsu yang dimiliki seorang manusia. Tarian ini diiringi syair Sekar Macapat Pangkur yang diciptakan SISKS Paku Buwono I. Pada Rabu (29/6) malam harinya, digelar wayang orang dan diakhiri dengan wayang kulit oleh pokoso cabang Kota Solo, di pagelaran Keraton Surakarta.
Wayang orang ini dimainkan oleh keluarga besar SISKS PB XIII. Menurut, KGPH Benowo selaku Wakil Pengageng Museum dan Pariwisata Surakarta, wayang orang sudah diadakan dua kali di pagelaran, sebagai sumbangan dari Sekar Budaya Nusantara pimpinan Ibu Nani Soedarsono (KRAy Sedarmirah).
"Beliau orang yang sangat peduli pada wayang orang dan menghidupkannya kembali agar dicintai masyarakat. Inilah bagian dari Jumenengan Dalem. Lakonnya Gatot Kaca Menagih Janji. Hikmah bagi para wakil rakyat yang menjadi pemimpin agar mereka menepati janjinya, tak hanya mementingkan diri sendiri dan golongannya saja."
Acara malam hari itu pun ditutup oleh pemberian kenang-kenangan dari keraton kepada mereka yang terlibat dalam pementasan wayang orang, seperti sutradara, penabuh gending, dalang, dan penanggung jawab acara.
Ade Ryani/ bersambung
KOMENTAR