Sakit sekali hati saya saat ini. Orang-orang yang saya cintai pergi bersamaan sekaligus. Istriku, Desi Indriani (30), dan anak-anak kami, Yuni Cipiani (9), Rendy (5), serta Dimas (3), meninggal di depan mata kepalaku. Kalau membayangkan kejadian itu, perih rasanya hati ini.
Jumat (24/6) itu, aku mengajak Desi ke Padang. Kami memang berencana pindah ke sana karena aku dapat pekerjaan di sana. Sebelumnya, aku bekerja sebagai penjual pakaian di Medan. Desi sangat mendukung keputusanku mencari kerja di Padang dan sangat senang ketika tahu aku dapat pekerjaan mengerjakan rol-rol parit.
Meski awalnya anak-anak berat hati meninggalkan Medan, akhirnya perasaan itu seperti hilang. Buktinya, mereka sudah bisa tertawa dan bercanda saat kami pergi ke terminal bus ALS dengan menumpang becak motor. Sampai terminal saya segera menyuruh istri dan anak-anak naik ke dalam bus. Aku sempat kaget karena bus yang akan kami tumpangi itu baru tiba dari Bengkulu. Setelah diperiksa sebentar, bus langsung balik arah menuju Padang. Walaupun merasa aneh, aku tak banyak komentar. Kupikir, toh, perjalanan kami ke Padang hanya 24 jam dari Medan. Tak terlalu jauh.
Entah itu pertanda buruk atau bukan, yang jelas baru beberapa jam berjalan, tiba-tiba bus mogok karena veleg rodanya rusak. Aku sempat melihat supir dan kernet segera turun dan memperbaiki yang rusak. Aku ikut turun dan sempat mengobrol dengan mereka. Katanya, biasanya prosedur penggunaan bus tak begini. Umumnya bus yang baru datang dari luar kota tak boleh hanya "putar moncong" lantas berangkat lagi. Bus harus diservis terlebih dahulu. Dalam hati aku hanya membatin, apes sekali kami kebagian bus ini.
Akhirnya bus berangkat lagi dan dalam sisa perjalanan kami, berkali-kali supir menaikkan penumpang gelap. Aku ingat betul, begitu banyak orang berdiri di lorong bus. Beberapa bahkan tertidur di lantainya. Hitung-hitung, supir bisa dapat pemasukan Rp 1 juta lebih dari penumpang yang masuk belakangan ini. Bersamaan dengan itu, aku juga mempertanyakan keselamatan kami. Bukankah berbahaya jika kapasitas terlalu penuh begini? Kok, si supir tak memikirkan keselamatan penumpangnya, sih?
Sekitar pukul 03.00, bus ngadat lagi di Sipirok. Kali ini karena tak kuat mendaki tanjakan yang tinggi. Habislah kesabaranku. Aku minta kepada supir agar kami dioper saja ke bus lain, tapi lagi-lagi dia hanya minta kami bersabar. Ia malah minta tolong para lelaki agar turun dan ikut mendorong, sementara wanita dan anak-anak tetap berada di dalam bus.
Dengan setengah hati, kami pun turun dan mulai mendorong. Bukannya maju, bus malah terus mundur. Tanpa kendali, bus terjun ke Telaga Aek Lontang. Astagfirullah! Spontan, aku mengejar bus itu. Seperti terbang rasanya kaki ini. Pikiranku hanya tertuju pada Desi dan anak-anak yang ada di dalam bus. Sayup-sayup kudengar teriakan mereka dan juga penumpang lain, disusul dengan dentuman saat rangka bus menghantam jurang sedalam 6 meter itu.
Di bibir jurang, tak henti-hentinya kupanggil nama istri dan ketiga anakku. Namun, tak ada lagi sahutan. Kulongok ke bawah. Astaga! Di bawah jurang itu mengalir air yang deras arusnya. Separuh badan bus terendam di telaga itu. Aku tak berani membayangkan lagi nasib istri dan anak-anak yang terjebak dengan pintu tertutup. Aku hanya bisa meratapi mereka dari atas.
Tak beberapa lama, bantuan datang. Hari semakin pagi, masyarakat Dusun Sipirok mulai ramai berdatangan ke lokasi kecelakaan, membantu mengeluarkan penumpang. Satu per satu kupandangi tubuh-tubuh orang yang kucintai sudah terbujur kaku. Desi, Yuni, Rendi, lalu Dimas. Ah, hancur luluh rasanya hati ini.
KOMENTAR