Air Sungai Bengawan Solo yang membelah wilayah penambangan Desa Kanor, Kabupaten Bojonegoro dan Desa Modo, Kabupaten Tuban pada Senin (27/6) siang itu terlihat tenang saja. Tak ada arus atau pusaran yang terlihat, mengingat air juga tidak terlalu tinggi, seperti halnya jika ada hujan. Sudah lama di kawasan ini tak turun hujan.
Kendati demikian, perasaan Sarmadi Harianto (50) bersama istrinya Jaminten (48) yang ketika itu datang bersama rombongan keluarganya yang hendak melintas ke Modo agak ragu, saat melihat kondisi fisik perahu yang sudah tampak tua, ditambah jumlah penumpang yang sudah memenuhi seluruh tubuh perahu. Melihat raut wajah Sarmidi yang ragu dan hanya termangu di bibir sungai, Ngadiono (13), remaja si pengemudi perahu, berteriak memanggilnya. "Pak, jadi ikut enggak? Kalau jadi, ayo naik!" teriak Ngadiono, seperti ditirukan Sarmidi.
Karena diteriaki seperti itu, Sarmidi bersama istrinya yang masing-masing membawa sepeda pancal segera menepis keraguan dalam benak mereka dan bergegas naik perahu. Begitu keduanya berada di atas perahu bersama belasan penumpang lainnya, Ngadiono langsung menghidupkan mesin perahu. Selain berisi 16 penumpang termasuk si pengemudi, di atas perahu juga terdapat enam sepeda motor dan dua sepeda pancal.
Di saat itu, keraguan Jaminten dan Sarmidi kembali muncul, bahkan semakin menguat. Selain badan perahu tampak amblas hingga air hampir menyentuh bibir perahu, Jaminten pun mulai melihat air merembes masuk dari sela-sela tubuh perahu yang sudah tua. Melihat bahaya mulai mengintai, Jaminten spontan berteriak ke arah Ngadiono. "Hei.. hei... air masuk, jangan diberangkatkan dulu perahunya!" kisah Jaminten kepada NOVA, Rabu (29/6), saat ditemui di rumahnya di Desa Soko, Kec. Soko, Tuban (Jatim).
Namun, Jaminten mengaku, teriakannya tak digubris Ngadiono. Bocah itu justru tampak memasukkan mesin baling-baling perahu ke dalam air agar perahu segera melaju. Kekhawatiran pasangan suami istri itu tak meleset, begitu mesin motor tempel dikencangkan, perahu yang baru sekitar 10 meter meninggalkan tepian sungai langsung oleng, sehingga air sungai langsung memenuhi badan perahu dan tenggelam dalam waktu singkat.
Begitu mendadaknya perahu tenggelam, Jaminten dan penumpang lainnya sama sekali tak siap. Yang terdengar ketika itu hanyalah teriakan berupa ucapan takbir dan minat tolong, sebelum tenggelam bersama perahu. Bahkan, Sarmidi sempat tertarik ke dasar sungai karena celananya tersangkut motor yang ada di sebelahnya. "Kejadiannya begitu cepat, saya sadar sudah tenggelam setelah berada di dasar sungai," kata ayah seorang anak, dengan eskpresi menggebu-gebu saat mencerikana peristiwa nahas itu
Setelah tersadar, ia kemudian menjejakkaan kakinya pada motor sekuat tenaga agar bisa timbul ke permukaan air. Celakanya, baik dirinya maupun istrinya dan sebagian besar penumpang lain tak bisa berenang. Kendati lokasi tenggelamnya perahu hanya sekitar 10 meter dari tepian, namun perlu perjuangan keras bagi Sarmidi dan Jaminten untuk bisa sampai ke tepian. "Saya tidak peduli, pokoknya harus sampai ke tepian, meski perut sudah penuh menelan air sungai," kisah Sarmidi.
Jaminten pun menceritakan, begitu perahu oleng hendak tenggelam, ia dengan sigap melepaskan sepeda pancal yang dipegangnya, kemudian kakinya menjejak tepian perahu untuk melompat sekuat tenaga hingga munculke permukaan air. Di antara kondisi kepala yang timbul tenggelam, ia berteriak-teriak sambil tangannya menggapai-gapai. "Mau bagaimana lagi, soalnya tidak bisa berenang. Yang penting saya tidak tenggelam dan bisa cepat ke tepian," kata Jaminten yang masih merasakan kengerian saat mengenang peristiwa yang menewaskan 10 orang anggota keluarganya itu.
Entah hanya halusinasi atau memang kenyataan, di tengah kepanikan itu Jaminten mengaku merasakan ada sebuah "tangan" yang mendorong punggungnya kuat-kuat ke tepian hingga ia selamat dari maut. "Ya, mungkin itu cara Allah menyelamatkan saya. Yang pasti, saya bisa sampai tepian meski dengan perjuangan setengah mati," imbuh Jaminten penuh syukur.
Demikian pula dengan Sarmidi, di saat dirinya berjuang antara hidup dan mati agar bisa sampai ke tepian, ia merasakan ada seseorang yang memberikan bambu untuk dijadikan pegangan hingga akhirnya ia bisa naik ke tepian. Setelahnya, ia mengaku sempat pingsan karena syok. "Mudah-mudahan ini merupakan pengalaman pahit saya yang terakhir. Jeritan pilu saudara-saudara saya yang jadi korban itu rasanya masih terus terngiang-ngiang di telinga sampai sekarang," tutur pria yang hingga kini masih merasa sakit di bagian kakinya pasca perahu tenggelam.
KOMENTAR