Dengan berapi-api, Aprilia Sulistyowati (51) alias Lia berujar, "Saya berani sumpah pocong dan siap melakukan tes DNA bahwa Dila adalah anak sah Eddy Rumpoko." Wanita ini mengaku geram karena Eddy membantah pernah menikahinya, apalagi punya anak dari perkawinan mereka itu.
"Saya punya banyak bukti," lanjutnya saat ditemui Rabu (22/6). Bukti itu, antara lain, buku nikah, akta kelahiran, serta saksi pernikahan. "Saksi pernikahan saya dan Eddy sampai sekarang masih hidup. Dia itu sahabat saya, juga teman Eddy," jelas Lia yang membantah langkahnya menggugat Eddy Rp 12 M bukan untuk mencari sensasi karena ia berhadapan dengan orang nomor satu di Batu, Malang, Jawa Timur. "Ini murni tanggung jawab saya sebagai seorang ibu!"
Beda Perlakuan
Sehari sebelum ditemui, Selasa (21/6), Lia mengajukan gugatan nafkah terhadap Eddy ke PA Malang. "Selama 27 tahun Dila tak pernah mendapat nafkah yang memadai dari Eddy. Saya ingin Eddy memperlakukan Dila seperti anak-anaknya yang lain." Lia kemudian merinci jumlah Rp 12 M itu. "Itu hitungan biaya hidup Dila selama 27 tahun. Termasuk uang untuk makan, sekolah, biaya rekreasi, dan lainnya. Totalnya segitu," ungkap Lia yang menuding Eddy selama ini menganaktirikan Dila. "Eddy hanya membiayai Dila saat sekolah di SMP. Setelah lulus SMP, tak mau lagi membiayai karena keburu ketahuan istrinya." Begitu Dila lulus SMA, Eddy pernah memberi uang Rp 5 juta untuk kuliah.
Baru setelah Eddy menjadi Walikota Batu tahun 2007, kata Lia, Dila diberi jatah bulanan sebesar Rp 500 ribu. "Jatah itu lalu dinaikkan menjadi Rp 1 juta per bulan. Itu pun setelah Dila minta tambahan karena diberi saran teman saya. Masak anak walikota hanya diberi jatah bulanan Rp 500 ribu," jelas Lia yang saat itu tinggal di Bali.
Masalah muncul ketika Maret lalu, "Kiriman bulanan distop tanpa ada pemberitahuan apa-apa. Padahal, anak-anak Eddy dari perkawinan dengan Dewanti sangat dimanjakan. Kabarnya, beberapa waktu lalu, dia rela mengeluarkan uang Rp 600 juta untuk pesta ulang tahun anaknya yang ke-17. Sementara Dila harus kos di Jakarta. Ini, kan, tidak adil!" tutur Lia sambil menjelaskan, putrinya kini bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Kejengkelan Lia lainnya, "Eddy ingkar janji. Sekitar tahun 2005, dua tahun sebelum jadi walikota, dia pernah berjanji akan membiayai kuliah Dila sampai S1, membelikan rumah, mobil, dan kasih modal usaha." Bahkan, tambah Lia, janji itu sudah dua kali diucapkan Eddy. "Pertama saat saya dan Fajar (anak Lia dari suami lain, Red.) diundang makan Eddy di restoran Toko Oen Malang. Lalu dia ulangi janji itu di hadapan tante saya, di kediaman nenek saya di Jl Kawi. Jadi, saksinya banyak."
Sejujurnya, kata Lia, dia hanya merasa kasihan kepada Dila yang seakan dipermainkan ayahnya sendiri. "Dila, kan, butuh uang kuliah. Karena Eddy ingkar janji, dia hanya bisa kuliah sampai D1 saja. Padahal, anaknya pintar."
Yang membuat Lia makin gusar, setiap akan menagih janji, pintu komunikasi seakan sengaja ditutup. "Setiap kali saya telepon, tak diangkat. SMS juga tak dibalas. Dila pun tak bisa lagi menghubungi papanya. Bahkan, saat Dila mau ketemu Eddy beberapa waktu lalu, papanya itu malah pergi ke acara lain. Praktis sampai sekarang kami tak bisa menghubungi Eddy lagi."
Lantaran gugatannya menyangkut public figure, sebelum dilayangkan, "Saya kasih tahu Eddy lewat surat klarifikasi." Bahkan secara informal, Sumardhan, pengacara Lia, sempat menyampaikan rencana itu ke salah seorang pengacara yang sering menangani urusan Pemkot Batu. "Tapi pihak Eddy tak menggubris," kata Sumardhan yang ditemui terpisah.
Karena tak ada respons, Lia melalui pengacaranya mengajukan gugatan nafkah di PA Malang, Jawa Timur. Sumardhan menambahkan, apa yang dilakukan Lia memiliki dasar hukum. "Gugatan nafkah diatur dalam Undang-undang Perkawinan. Kami juga punya bukti dan saksi sebagai dasar gugatan kami," jelas Sumardan yang mengaku langkahnya mendampingi Lia karena merasa kasihan. "Tidak ada aspek politis. Semua murni demi hukum dan keadilan," tandas Sumardan yang membiayai semua gugatan ini.
Di sisi lain, Lia merasa punya kewajiban memperjuangkan hak Dila. "Mumpung saya masih diberi kesempatan hidup. Saya, kan, sudah tua. Nah, selagi masih diberi umur, saya akan memperjuangkan hak anak saya sampai berhasil," jelas Lia yang saat ini masih mengontrak rumah di komplek Zona Neighbourhood, Malang.
Main Api
Perkawinan Lia dan Eddy, seperti dikisahkan Lia, berlangsung hari Sabtu, 11 Juni 1983, di Ngantang, Malang. Tapi pernikahan meraka tak dihadiri oleh ayah Lia, Slamet Soetedjo. Mantan kepala PU ini tak bisa hadir karena stroke dan tinggal di Blitar. "Jadi, saya dinikahkan oleh wali nikah, Pak Moch Sodik." Saat pernikahan itu, Eddy menyerahkan mas kawin berupa uang sebesar Rp 5 ribu.
Setelah menikah, pasangan ini tinggal di rumah nenek Lia di Jalan Kawi, Malang. Dua tahun kemudian, lahirlah Dila yang ditangani oleh dr Djarbo Widarto di Malang. "Saat itu Eddy masih jadi promotor musik. Dia sering mendatangkan grup-grup musik ke Malang." Selain itu, Eddy yang juga anak mantan Walikota Malang, juga pernah menjadi promotor tinju.
Tuntutan tugas memaksa Lia pindah ke Jakarta. "Saat menikah, saya memang kerja di sebuah produk kosmetik di Malang dan kemudian perusahaan minta saya pindah ke Jakarta." Karena pekerjaan itu hanya satu-satu gantungan hidup, Lia terpaksa menuruti. Lia memang tak bisa mengandalkan dapurnya dari Eddy. "Yang kaya, kan, ayahnya. Dia sendiri kerjanya sebagai promotor yang hanya dapat uang jika ada konser."
Kepindahan Lia ke Jakarta, tak disertai Eddy. "Rupanya selama saya tinggal di Jakarta itu, Eddy main api dengan perempuan yang kini menjadi istrinya." Alhasil, tahun 1986 Eddy mengutarakan akan mengurus fasid nikah atau pembatalan nikah. Semula wanita ini asal Blitar ini menduga, suaminya bakal melengkapi surat pernikahannya karena dulu mereka nikah dengan wali. Makanya Lia tutup mata saja saat Eddy minta tanda tangan. "Ternyata surat itu justru dipakai sebagai senjata untuk menikahi Dewanti," jelas Lia.
Sukrisna / bersambung
KOMENTAR