Masih ingat kasus TKI bernama Darsem (27) yang harus membayar Rp 4,7 M sebagai ganti pembebasan dirinya dari hukuman mati yang ditetapkan Pemerintah Arab Saudi? Darsem dinyatakan terbukti membunuh majikannya meski hal itu terpaksa ia lakukan karena akan diperkosa. Hingga saat ini, nasib anak tunggal pasangan Dawud (60-an) dan Sawinah ini belum jelas. Yang sudah jelas, Dawud tak sanggup membayar uang sebesar itu.
Perasaan Dawud jadi semakin galau setelah mendengar nasib TKI lainnya, Ruyati asal Bekasi, yang dihukum pancung. "Kami takut Darsem bernasib sama," kata nelayan miskin itu. Padahal, bukan itu yang diimpikan Darsem dan ayah-ibunya ketika gadis itu berangkat menjadi TKW. "Maunya, kan, membantu nasib kami. Siapa tahu bisa bikin rumah tembok seperti para tetangga yang dapat uang dari hasil dari kerja jadi TKW."
Ternyata nasib Darsem tak seberuntung tetangganya. "Ia hanya sekali kirim uang setelah dua bulan kerja." Setelah itu, yang datang justru kabar sedih. "Sekitar delapan bulan setelah Darsem bekerja, ada orang dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu) datang mengabarkan, Darsem ada masalah. Katanya, dia membunuh majikan yang akan memerkosa. Saya kaget dan tak percaya. Dia begitu pendiam. Dimarahi tetangga saja menangis, kok. Kalaupun betul membunuh, ia tentu terpaksa sekali demi mempertahankan harga dirinya," kata Dawud.
Setelah kasusnya mencuat hingga membuat Presiden SBY turun tangan, akhirnya uang Diyaat atau kompensasi untuk pembebasan Darsem diserahkan Sabtu (25/6). Uang itu dikeluarkan dari anggaran Kemlu terkait perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri. Apakah setelah itu Darsem akan bebas? "Dia bebas dari hukuman pancung tapi nanti akan ada perhitungan lagi. Akan kami usahakan agar bebas murni dan langsung ada pemaafan dari raja," ujar Gatot Abdullah Mansyur, Duta Besar RI untuk Arab Saudi, seperti dilansir Vivanews.com.
Berbeda dengan Darsem, nasib Rosita (28) agak lebih beruntung. Ia yang kini sudah kembali ke kampung halamannya di Kampung Cikelak, Karawang, harus menjalani persidangan di Fujairah, Uni Emirat Arab (UEA), atas tuduhan bersekongkol dalam kasus pembunuhan. "Padahal saya tidak tahu apa-apa," kata Rosita, Kamis (23/6), di kantor Solidaritas Perempuan.
Pengalaman buruk itu terjadi pada kepergiannya yang kedua sebagai TKI setelah sebelumnya sukses sebagai TKW di Arab Saudi dan bisa memperbaiki rumahnya. Alkisah, Mei 2009, ia kembali menjadi TKW di Fujairah, melalui agen tenaga kerja PT Berkah Guna Selaras. "Majikan saya, suami-istri, keduanya berprofesi sebagai polisi dan lumayan kaya. Awalnya mereka baik." Selain Rosita, ada TKW lain bernama Mimi (nama samaran) yang juga bekerja di keluarga yang memiliki 10 anak itu.
Alkisah, suatu malam di bulan Oktober 2009, Rosita terjaga mendengar teriakan Mimi. "Saya lihat ada lelaki tengah mematikan lampu. Ada yang membekap saya dan mengancam akan membunuh. Total ada tiga lelaki yang masuk rumah. Setelah itu, mereka pergi. Saya kenal mereka, salah satunya anak majikan yang berumur 15 tahun," kata Rosita yang digaji sekitar Rp 2 juta per bulan.
Seret "Boyfriend"
Rosita segera ke kamar Mimi dan mendapatkannya sudah tak bergerak. Panik, ia segera membangunkan majikannya. Tak lama kemudian, polisi datang dan membawa Rosita ke markas. "Saya dituduh membunuh Mimi. Saat itu saya baru tahu, dia sudah meninggal. Anehnya, saya dipaksa harus mengaku sebagai pembunuhnya. Bahkan, saya sempat dipukul dan dipaksa." Tak sudi dihukum sendirian atas perbuatan yang tak dilakukannya, Rosita mengeluarkan jurus khusus untuk menyeret anak majikannya. "Kepada polisi saya mengaku menjalin hubungan dengan anak majikan. Istilahnya, dia boyfriend saya. Saya mengaku demikian untuk menyeret anak majikan saya. Soalnya, pengadilan di sana akan menghukum orang yang pacaran."
Benar saja, polisi kemudian menangkap anak majikannya. Rosita pun menjalani persidangan untuk dua kasus, yaitu pembunuhan dan kasus percintaan. "Untuk kasus boyfriend, saya dihukum enam bulan. Untuk kasus pembunuhan, akhirnya saya terbukti tidak bersalah. Akhirnya, tiga pria yang masuk rumah itu memang ditahan."
Karena memang tidak bersalah, Rosita dilepaskan setelah 20 bulan mendekam dalam tahanan. "Selama ditahan, saya sulit berhubungan dengan pihak Pemerintah Indonesia dan keluarga. Setelah setahun ditahan dan menjalani tiga kali sidang, barulah Pemerintah tahu kasus saya."
Pertengahan Juni lalu, Rosita dibebaskan. "Semuanya sudah disiapkan, termasuk tiket dan paspor. Saya dinyatakan tidak bersalah. Sampai sekarang saya tidak tahu lagi hasil pengadilan yang menyidangkan anak majikan saya." Ia juga baru tahu belakangan, dua pria lain yang dipergokinya itu, ternyata masih kerabat majikan. "Saya tidak tahu mengapa mereka membunuh teman saya. Mungkin mereka mau memerkosa."
Mendapat kebebasan seperti Rosita, tentunya amat membahagiakan. Itu pula yang diharapkan pasangan TKI Hasin Taufiq (40) dan Sab'atun (35) asal Desa Palengan Laok, Pamekasan, Madura. Dalam waktu dekat, mereka akan dijatuhi hukuman potong tangan karena dituduh mencuri satu kilogram emas milik majikannya, Mohamad said Bamusa, di Jeddah Arab Saudi. "Keluarga besar sekarang stres berat memikirkan nasib kakak kami," kata Makbul (32), adik kandung Hasin.
Makbul yang didampingi anak tunggal Hasin dan Sab'atun, Maria Ulfah (11), menceritakan perjalanan panjang kakaknya merantau jadi TKI di Arab Saudi sejak 2001. "Di sana kakak saya jadi sopir sedang istrinya sebagai PRT di keluarga Bamusa. Dari komunikasi yang kami lakukan, hubungan antara kakak dengan keluarga majikannya sangat baik," kata Makbul.
Entah kenapa, komunikasi lancar itu terputus sejak tahun 2006. "Kami semua resah, sementara kalau mau mengecek apa yang terjadi, tidak tahu harus bagaimana," kata Makbul. Pada akhirnya, pada tahun 2007, Hasin menghubungi keluarga di Indonesia dan mengabarkan tengah dapat musibah. Ia dan istrinya ditahan karena dituduh bersekongkol dengan perampok yang menyatroni rumah majikannya serta mengambil emas satu kilogram. "Padahal, kakak saya tidak melakukannya. Saat kejadian, Kak Hasin keluar dengan majikan perempuan, sementara istrinya di rumah bersama majikan laki," cerita Makbul.
Memang, ada kemungkinan Hasin dan istrinya dibebaskan namun dengan syarat harus membayar Rp 250 juta, senilai harga emas yang dituduhkan dicuri. "Sedihnya, kakak saya cerita, baru sekali didatangi oleh petugas KJRI meski dia sudah berusaha berkali-kali menghubungi. Sekitar 10 hari yang lalu, dia telepon, mengabarkan sudah dipindahkan ke penjara gelap. Kalau sudah di penjara gelap, biasanya tidak lama lagi akan menjalani hukuman potong tangan sesuai dengan hukum di Arab," kata Makbul menirukan ucapan sang kakak.
Beruntung Gubernur Jawa Timur, Pakde Karwo, segera memberi reaksi positif. Uang ganti senilai harga emas yang dikatakan dicuri Hasin dan istrinya, akan segera diberikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. "Semuanya sedang dikoordinasikan dengan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Kemlu," kata Wakil Gubernur Jatim, Sayaifullah Yusuf.
Henry, Gandhi / bersambung
KOMENTAR