Siang begitu terik ketika Atun mengangkat popok dan baju-baju bayi dari tali jemuran. Sementara si bayi tengah pulas tidur di kamarnya. Sebelum melahirkan anak pertama pada Jumat (20/5) malam, Atun rela keluar dari pekerjaannya sebagai penjaga toko. Ia ingin berkonsentrasi mengurus bayinya yang menurut hasil USG dokter berjenis kelamin laki-laki. ''Saya sudah siapkan nama Alfian Muchamad Basyid. Panggilannya Ibas," terang Atun.
Sayangnya, pasca persalinan ia justru ragu, lantaran bayi yang kini berada di rumahnya tidak diyakini 100 persen sebagai anak kandungnya. Kendati demikian, bayi perempuan berusia 35 hari itu tetap ia sayangi dan sementara dinamai Alifa Nur Afidatun. Sapaannya Ifa. Bayi mungil yang cantik dan berpipi montok itu juga belum dibuatkan akta kelahiran. ''Biar besoknya tidak repot. Iya, kalau ini anak saya, kalau bukan? Makanya biar semuanya terang, saya minta RSU Muntilan melakukan tes DNA terhadap Ifa untuk memastikan kebenaran bayi ini anak siapa,'' tegas Atun.
Meski merasa bukan ibu kandungnya, Atun tetap merawat Ifa dengan baik, termasuk memberinya ASI. ''Habis mau bagaimana? Kasihan, kan, bayinya. Semua orang di rumah ini menyayangi Ifa.''
(Tiba-tiba dari dalam kamar terdengar suara bayi menangis. Atun segera bangkit dari duduknya. Ia menemui Ifa lalu mengajaknya bercanda. Dengan penuh kasih-sayang Atun mengganti popok Ifa yang basah. Bayi itu kembali tenang di pelukannya. Ketika kembali berbincang dengan NOVA, ibu mertua Atun, Ny. Nur Hasanah menggendong Ifa dan mengajaknya bercanda.)
Pangkal masalah keraguan pasangan yang menikah pada 2010 itu bermula ketika Jumat (20/5) sekitar pukul 22.45 Atun melahirkan anak pertamanya di RSU Muntilan secara normal. ''Selamat, bayinya laki-laki,'' tutur Afid menirukan kalimat dokter yang membantu persalinan Atun. Sayangnya, Afid tak kenal nama dokter itu, meski di slip pembayaran persalinan yang dikeluarkan RS tertera nama seorang dokter bergelar SpOG.
Setelah Atun selesai melakukan persalinan dan bayi dibersihkan, dengan menahan mual dan pusing akibat menunggui istrinya bersalin, Afid ke luar dari ruang Gladiol, yang merupakan ruang persalinan. ''Enggak lama kemudian, suster yang menggendong bayi saya ke luar. Orangtua saya mengejar suster itu untuk menanyakan jenis kelamin si bayi. Suster menjawab, bayi saya laki-laki,'' tambah Afid.
Sebagai ayah, Afid juga langsung menuju bangsal Kencana tempat bayi diistirahatkan. Di bangsal bayi itu, Afid segera mengumandangkan adzan di telinga anaknya. ''Saya tidak sempat melihat kelaminnya karena suster jaga segera meminta saya ke luar ruangan.''
Atun melanjutkan cerita, pasca bayinya lahir hingga keesokan harinya, dirinya tak diberi kesempatan memberi ASI ekslusif. Tak ada pula kegiatan IMD atau inisiasi menyusu dini untuk bayinya. Ia juga mengaku tak segera dipindahkan ke bangsal perawatan seperti ibu-ibu pada umumnya seusai melahirkan. ''Alasannya, semua bangsal penuh. Saya baru diminta memberi ASI esok harinya lagi,'' terangnya. ''Padahal, saya lihat banyak bangsal kosong, lho,'' timpal Afid.
Seusai menyusui, seorang suster meminta izin pada Atun untuk mengambil darahnya. ''Katanya untuk tes laboratorium. Tapi sampai sekarang, hasil tes itu tidak pernah diserahkan ke saya. Percuma, kan, saya diambil darahnya, tapi hasilnya tidak diberitahukan? Padahal, saya dikenai biaya Rp 167.200, lho.''
Yang disesalkan Atun lagi, saat menyusui bayinya, ia tak sempat membuka kain bedong untuk memastikan jenis kelamin bayinya. ''Saya percaya saja bayi itu laki-laki karena saya melihat dia dipakaikan gelang warna biru. Biasanya, kan, itu sebagai tanda bayinya laki-laki. Kalau perempuan, gelangnya warna pink, kan?''
KOMENTAR