Pada suatu Minggu pagi, Pelataran Pakualaman Yogyakarta ramai dikunjungi peserta jalan sehat. Mereka mengenakan kaos warna hijau, mulai dari anak-anak, tua, muda, kaum lelaki dan perempuan. Semangat terpancar dari wajah mereka, apalagi bisa bertemu dan bersalaman dengan Hanafi Rais, putra Amin Rais.
Selain jalan sehat, diadakan juga pameran makanan tradisional. Warga antusias ingin melihat makanan yang dipamerkan. "Ini boleh dibeli tidak? Atau boleh dicoba?" tanya seorang ibu muda. Rupanya Sang Ibu harus menelan kekecewaan karena makanan itu tidak dijual alias hanya dipamerkan saja.
Kekecewaan juga dirasakan warga lain, terutama ibu-ibu. Ada yang mencoba membujuk agar boleh mencobanya, namun menurut para panita, acara belum berlangsung dan tentu saja hal itu ditolak. Titik Anton, Koordinator Pameran Makanan Tradisional mencoba memberi pengertian kepada ibu-ibu tadi. Toh, mereka tetap bertahan, enggan beranjak pergi dari lokasi pameran.
Menurut Titik, acara seperti ini sangat bagus jika diadakan rutin dengan promosi yang lebih luas. "Ini, kan, bisa dijadikan sebagai ajang promosi. Lewat pameran, produsen tak perlu mengeluarkan biaya karena sudah difasilitasi. Bahkan bisa pesan ke kami jika dibutuhkan. Kami pasti akan memberikan kualitas acara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam membuat makanan tradisional, kami lebih terkontrol dan tidak memakai zat pewarna sembarangan," tutur Titik yang memiliki home industry yang pekerjanya terdiri dari para ibu rumah tangga. "Tujuannya membantu para suami dalam menghidupi rumah tangga."
Sudah 1,5 tahun ini Titik mendirikan kelompok usaha ekonomi keuangan mikro. "Ke depannya, anggotanya diajarkan mengelola keuangan. Jadi mereka tahu cara menghitung modalnya berapa, untungnya berapa. Selama ini, kan, buat meraka kalau sudah ada buat makan saja sudah puas. Padahal tujuannya bukan seperti itu. Kami mau mengubah sistem itu."
Makanan yang dipamerkan sangat beragam, mulai dari kue berbahan beras ketan, tempe, dibungkus daun, atau taburan kelapa. Yang berbahan dasar beras ketan terdiri dari Jadah (beras ketan dan kelapa), Lapis (beras ketan dan kelapa), Wajik (beras ketan, gula, santan). Berbahan tempe adalah Koro (tempe koro, gula jawa, bumbu) dan Gembus (tempe gembus, gula jawa, bumbu).
Yang dibungkus daun antara lain Mento (tepung gandum, santan, daging), Saren (tepung ketan, jahe, merica, santan), Mata Kebo (beras ketan, santan, gula, kelapa), Gondomono (singkong, kelapa, wortel), Legomoro (beras ketan, kelapa, daging ayam), Nogosari (tepung beras, kelapa, pisang) dan Cantik Manis (tepung hunkwee, santan, gula pasir).
Yang memakai taburan kelapa sebut saja Sawut (singkong, kelapa, gula pasir), Gronto (jagung, kelapa), Gathot (singkong) dan Ketan Bubuk (beras ketan, santan, bubuk kedelai). Ada juga yang berbahan pisang seperti Tetel Gedhang (pisang), Gethuk (singkong, kelapa) dan Gethuk Kimpul (kimpul, santan, gula pasir).
Menurut Titik seluruh kue tradisional tadi dibuat dari bahan sederhana yang mudah diperoleh. "Ibu-ibu rumah tangga lainnya juga sebenarnya bisa membuatnya. Sayangnya, sekarang makin jarang diminati anak-anak karena lebih suka makanan luar seperti roti, donat, hamburger. Jadi, mereka tidak mengenal makanan-makanan tadi. Pameran ini harus sering diadakan agar tidak dilupakan dan ditinggalkan masyarakat."
Menurut Aris Martono, Ketua Panitia, pameran ini memang ditujukan untuk mempertahankan makanan tradisional yang hampir punah. "Anak-anak sekarang tidak mengenal nama-nama makanan tradisional khas daerahnya. Misalnya, kelepon saja. Nah, sebagian kue memang masih ada yang jual, tapi untuk kue yang namanya terdengar asing seperti Saren, sudah sangat langka. Padahal makanan itu rasanya enak-enak, lho," papar Aris yang amat menyukai kue kelepon.
KOMENTAR