Wajah tua Ngatinem (50) terlihat letih dan kuyu. Mata kirinya juga tampak memerah. Tubuh wanita tua ini kurus dan kucel. Saat ditemui NOVA ditempat persembunyiannya Ngatinem hanya bicara sepatah dua patah kata.
"Saya mau segera pulang ke Jawa saja. Saya ikhlas saja dengan perbuatan keluarga polisi itu. Yang penting gaji saya selama bekerja disitu segera dibayarkan. Saya mau pulang, saya mau cari kerja di Magelang saja," tutur Ngatinem dengan mata berkaca-kaca.
Dengan terbata-bata wanita dua putra ini menuturkan kisahnya hingga 'terdampar' di Medan." Saya pikir saya bisa bekerja di Jakarta. Tapi, ternyata kok malah dibawa kerja di Medan. Tapi, ya sudahlah, ini mungkin sudah nasib saya," kata nenek tiga cucu.
Ngatinem harus ikut bekerja membantu suaminya yang terkenah stroke di tangan." Suami saya kenah stroke setahun yang lalu. Makanya saya harus turun tangan bantu cari makan buat keluarga. Kedua anak saya sudah menikah.Tapi, kalau mengharap mereka tak bisa. Mereka sudah bekerja buat keluarga masing-masing."
Awalnya, Ngatinem kerja serabutan. "Saya juga pernah kerja sebagai tukang jahit. Namun, dengan menjahit rasanya uangnya tak memadai." Enam bulan lalu, kata Ngatinem, iseng-iseng dia cerita dengan tetangganya yang kerja di Terminal. "Tetangga saya itu namanya Rustam, menawarkan saya kerja dengan Ibu Intan. Saya lalu dikenalin dengan ibu itu dan saya diajak ke Jakarta. Mendengar kerja di Jakarta, saya langsung setuju. Selain dekat, kalau suami sakit saya bisa cepat pulang ke Magelang," tutur Ngatinem dengan mata menerawang jauh.
Namun, wanita malang ini tak mengerti saat diajak ibu Intan menginap dua malam di rumah kerabatnya. " Saya tahunya kerja pada ibu Intan itu. Lantas, ibu Intan ngajak saya ke Medan. Alasannya akan mengambil uang kost-kost-an di Medan. Dia punya anak kost."
Dibawah UmurNamun, sampai di Medan Ngatinem semakin tak mengerti kalau dia akhirnya kerja di rumah boru Tobing di Jl Pabrik Tenun. Sejak enam bulan lalu Ngatinem mulai kerja di rumah boru Tobing yang memilki dua orang anak dan dua orang cucu itu.Belakangan Ngatinem baru tahu kalau salah satu anak perempuan boru Tobing adalah seorang polisi, Kompol Elisabeth.
"Ya sudahlah apa boleh buat, saya kerja di rumah boru Tobing harus saya terima. Mungkin itu sudah jalan hidup saya.Hari demi hari saya lalui di rumah besar yang berpekarangan luas.Namun, dua bulan belakangan ada lagi seorang PRT dari Jawa yang kerja di rumah itu.Nama PRT itu Ropiah. Namun, malangnya perempuan itu baru berumur 14 tahun," ujar Ngatinem sedih.
Ternyata bukan hanya Ngatinem yang bernasib tragis. Ropiah (14) juga mengalami nasib tak beruntung seperti Ngatinem. " Saya mau jadi PRT karena ingin bantu meringankan beban orang tua. Ayah saya sehari-hari kerja sebagai buruh bangunan di Brebes. Untuk menghidupi istri dan kedua anaknya ayah sering tak sanggup. Makanya dalam hati kecil saya ingin bantu beliau," ujar Ropiah, PRT yang masih dibawah umur.
"Awalnya saya berdua teman dibawa ke sebuah Yayasan di Jakarta Barat. Namun, saat saya hendak dibawa kerja, teman itu tidak ikut. Saya juga enggak terima kerja di Medan. Maunya saya kerja di Jakarta saja. Tapi, permintaan saya enggak digubris yayasan," ungkap Ropiah kesal.
KOMENTAR