Bagi kalangan penyuka seafood khususnya jenis kepiting di Surabaya dan sekitarnya, tentu mengenal nama restoran kepiting Cak Gundul. Restoran yang berpusat di Pandaan, Pasuruan (Jatim), itu memang terkenal lewat kelezatan masakannya. Kepiting olahannya benar-benar membuat orang ketagihan. "Yang datang ke mari bukan cuma warga Pandaan, malah lebih banyak dari luar kota," ujar Cak Gundul, yang memiliki nama asli Machsun (43).
Pria gundul ini memang bisa dikatakan sukses. Letak rumah makannya berada di tepian jalan raya Pandaan, jalan utama hendak menuju Surabaya-Malang. Saat ini, sudah memiliki empat cabang, masing-masing di Surabaya, Semarang, Yogjakarta dan Jakarta. Padahal, ketika ia merintis usaha pada 1992, kondisinya masih sangat sederhana. Ia membuka rumah makan seafood berawal dari warung kaki lima. "Dulu, pas warung tutup, saya dan istri tidur di kos-kosan beralaskan koran," kata bapak dua anak ini mengisahkan perjalanan hidupnya di awal merintis usaha.
Machsun adalah sosok yang ulet. Sebelum 1992, setelah sempat bekerja di sebuah rumah makan dan berhenti, ia membuka warung seafood kaki lima di Surabaya. Tapi usaha itu tak berlangsung lama karena bangkrut. Namun, pria asal Porong, Sidoarjo itu pantang menyerah. Ia lalu mencari lokasi lain di Pandaan. Dengan modal pas-pasan, hasil menjual perhiasan Saroh, sang istri, ia mencoba merintis kembali warung seafood kaki limanya. "Saya jualan dibantu istri," ujar pria berperawakan gempal yang kini memiliki 195 orang karyawan.
Agar brand warung seafood- nya cepat dikenal, Machsun juga fokus mencari nama yang unik untuk warungnya. Akhirnya terpilihlah nama "Cak Gundul". Nama ini ia yakini bisa menjadi daya tarik buat pembeli. Agar selaras dengan "nama barunya", penampilan fisiknya harus menyesuaikan alias rela rambut dibikin plontos. "Masak nama restonya Cak Gundul, tapi orangnya berambut gondrong? Kan, tidak lucu," kata Machsun sambil tertawa.
Setelah maju, ia tak lagi berjualan di kaki lima, melainkan bisa membeli bangunan permanen yang lumayan megah, yang ia tempati hingga kini. Pasokan kepiting pun Machsun tak hanya mengandalkan dari Sidoarjo dan sekitarnya saja, bahkan sampai harus mendatangkan dari Papua, Kalimantan dan Sulawesi. "Terutama jenis supercrab, yang satu ekornya mencapai berat 2 kilogram, itu tidak ada di Jawa."
Machsun mengaku, banyak sekali yang minat membeli waralaba usahanya. Namun, ia merasa kurang cocok dengan sistem itu. Sebagai perluasan usaha, ia memiliki buka cabang di berbagai daerah seperti di Jakarta, Semarang, Yogjakarta dan Surabaya. "Setiap cabang dipegang kerabat, dan perkembangannya makin hari makin bagus," papar Machsun yang juga melibatkan sang istri dalam mengatur keuangan perusahaan.
Untuk menjaga mutu, Machsun tetap mengirim pasokan kepiting ke setiap cabangnya lewat jalan darat untuk kawasan Jateng, dan kargo udara untuk cabang yang ada di Jakarta. "Saya sengaja tidak beli kepiting dari daerah asal cabang, demi menjaga kualitas." Bila sedang ramai pengunjung, Machsun bisa membutuhkan hingga 4 ton kepiting per bulan. Per porsi menu kepiting kecil harganya Rp 120 ribul, sedangkan untuk jenis supercrab, harganya Rp 350 ribu. Dan, setiap bulan Machsun mengaku bisa meraih laba sekitar
Rp 250 juta.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR