Berawal dari melihat banyaknya sampah minuman kaleng di warungnya, tercetus ide dalam benak Gifson Harianja untuk membuat kerajinan dari kaleng-kaleng bekas tadi pada tahun 2009. "Saya dulu punya warung sembako, banyak sisa kaleng bekas minuman yang terbuang. Iseng-iseng saya coba merakit miniatur pemulung dan diletakkan di warung."
Ternyata keisengan itu berbuah manis, ada seorang pembeli menawar miniatur buatannya, tapi Gifson bingung mau menjual dengan harga berapa. "Bahkan sebenarnya saya tak berniat menjual. Justru setelah itu jadi terpikir, kenapa tidak saya jual saja produk-produk ini, dan saya bikin yang banyak," cerita Gifson yang akhirnya menjual minatur itu seharga Rp 130 ribu.
Karena sesuatu hal, warung pun pindah ke rumah sendiri. Gifson juga mulai memproduksi lebih banyak barang kerajinan, mulai dari patung Pancoran, vespa, motor, sepeda, atau topi. "Baru tiga bulan ini saya buka kios sendiri di Jalan Kemang Raya, Jatiwaringin," papar Gifson yang sempat berhenti berproduksi karena ada kesibukan lain. November tahun lalu, ia pun mulai lagi. "Daerah sini, kan, dilalui mobil dan gampang dilihat orang. Harapan saya, ada yang tertarik melihat."
Menurut Gifson, tak sulit membuat kerajinan dari kaleng bekas ini. Pertama-tama, kaleng dipotong lalu diratakan. Kemudian dibikin polanya, mau dibentuk. "Bikin vespa, misalnya, dipilih dulu desain atau gambar yang pas agar nanti bentuknya bagus. Jadi, tidak asal memotong saja, harus ada seninya," tutur Gifson yang mengaku idenya bisa datang dari mana saja.
Dari sekian banyak kreasi Gifson, ternyata bentuk Vespa-lah yang paling diminati masyarakat. "Satu hari bisa membuat tiga vespa kecil. Yang agak lama, bikin patung Pancoran dan pemulung, bisa sehari penuh." Harganya? Gifson membandrol Rp 20 ribu untuk vas bunga, Rp 30 ribu untuk vespa kecil, dan Rp 300 ribu untuk vespa besar.
Harga yang dijual, menurut Gifson, tergolong standar. "Kalau dijual murah, kesannya jadi barangnya murahan," papar Gisfon yang sementara ini masih dibantu sang istri untuk menggunting kaleng. "Belum punya pegawai sendiri. Jika dihitung-hitung dengan harga jual, saya masih rugi dibanding modalnya. Tapi prinsip saya, biar untung sedikit yang penting laris. Jadi tidak ambil untung banyak. "
Kini, sebulan Gifson bisa menjual 50 buah karyanya. "Saya bisa menjualnya sebanyak itu karena saya jual di pinggir jalan. Kalau saja ada yang memberi modal, saya pengin ikut pameran. Sayang, belum ada sponsor, jadi saya agak kesulitan di soal pemasaran. Website saja belum ada," tutur Gifson yang menerima pesanan bentuk apa saja.
Ada kepuasan yang diperoleh Gifson saat membuat kerajinan ini karena sesuai hobinya. "Saat ini, masih lebih banyak orang yang datang cuma untuk melihat-lihat dan tidak membeli. Tapi, ungkin besok mereka datang lagi dan membeli."
Cerita duka juga sempat dirasakan Gifson, suatu kali saat membuat Vespa kaleng bekas, matanya tak sengaja terkena lem kaleng. "Sampai-sampai saya harus dirawat seminggu di rumah sakit dan hampir buta karena lemnya muncrat ke mata. Atau saat menggunting kaleng, tangan saya terkena pinggiran kaleng yang tajam. Tapi, kalau sudah jadi minatur, tak tajam lagi."
Jika kekurangan bahan baku, Gifson mencari ke pemulung. Tak jarang malah ada yang memberi ke Gifson. "Meski belum ada yang pesan dalam jumlah banyak, tapi produk ini pelan-pelan mulai dikenal. Penginnya buka toko sendiri." Gifson memang enggan menitip ke toko orang lain. "Mereka enggak mau karena takut barangnya rusak. Kecuali ada boks pelindungnya. Mereka khawatir, kalau barangnya rusak harus mengganti."
Noverita K Waldan
KOMENTAR