Setiba di rumah, aku mengurung diri di dalam kamar sambil tak pernah berhenti menangis. Aku tidak siap memiliki seorang anak yang tuli. Yang tak sempurna. Harapanku kelak Bintang menjadi seorang Taruna Angkatan Laut pupus sudah. Aku merasa menjadi seorang ibu yang paling bersalah, dan merasa paling berdosa dengan keadaan Bintang seperti itu.
Bila malam tiba, ketika ia tertidur lelap dalam pelukanku, ia kuciumi. Aku minta maaf kepada Bintang karena aku melahirkannya tak bisa dengan tubuh yang sempurna. Tiga bulan lamanya jiwaku terasa oleng. Bebanku semakin berat karena masalah ini kututup rapat-rapat dari orang lain. Tetangga sebelah rumah pun tak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Aku tidak siap, menerima kenyataan anakku tuli. Dengan keadaan itu, aku lalu menjadi enggan untuk mengajak Bintang ke luar rumah. Ada rasa malu bila sampai diketahui oleh orang lain Bintang sebenarnya anak tuli. Namun, aku beruntung, ibuku dan suamiku berusaha menguatkan hatiku.
Seringkali, dalam perjalanan pulang dari bekerja, dalam keadaan capek dan kehujanan, di balik helm yang kupakai, aku menangis tiada henti. Dalam hati aku berkata, alangkah bahagiannya andaiakata di saat aku penat sepulang kerja disambut Bintang di depan rumah sambil menganggilku Mama. Tapi, harapan sederhana dari seorang ibu itu pun tak bisa kurasakan. Yang keluar dari mulut Bintang, hanya suara "Ha... hu..." layaknya anak gagu.
Karena kondisi ekonomiku yang pas-pasan, aku mulai mencari berbagai cara. Menurut dokter, jika Bintang ingin menggunakan alat pendengar, harganya tidak murah, bisa mencapai puluhan juta rupiah. Bagi kami, uang dari mana? Gaji suami pas-pasan, demikian pula aku. Lalu, aku berusaha mencari cara ke orang-orang pintar. Berbagai orang pintar sudah aku temui, tapi tak pernah berhasil.
Salah satunya adalah ke Ponari, dukun cilik dari Jombang yang begitu heboh dan terkenal ke mana-mana. Demi mendapatkan air yang dicelup dengan batu yang ada di tangan Ponari, yang konon bisa menyembuhkan berbagai penyakit itu, aku rela antre mulai jam 5 pagi sampai 5 sore. Aku berdiri di antara ribuan manusia yang berjejalan, tanpa makan dan minum.
Aku lihat denagn mata kepalaku sendiri, orang yang ada di depanku meninggal dunia karena tubuhnya yang lemah tak tahan terhimpit di antara ribuan orang. Andaikata semangatku untuk kesembuhan Bintang tak menggebu, bisa jadi aku juga akan jadi korban. Tapi, lagi-lagi tak berhasil. Air dari Ponari tak memberi perubahan pada diri Bintang.
Ketika itu, masalah kembali menggunung. Selain persoalan Bintang, pada saat yang bersamaan suami di PHK dari perusahaannya. Begitu banyaknya pikiranberkecamuk di dalam kepalaku, sepulang dari kantor ku mengalami kecelakaan. Untung tidak fatal, tapi kaki kanan kiriku luka akibat terjatuh dari motor.
Sejak itu, aku semakin tak mampu lagi menahan beban pikiran. Di kantor aku menangis, sehingga aku tak bisa lagi menututpi persoalan di hadapan teman-teman kerjaku. Beruntung sekali, teman-teman mendukungku. Mereka justru menyalahkan aku, mengapa beban itu tak diceritakan sejak dulu.
Selanjutnya, mulailah aku mendapat informasi, adanya toko yang menjual peralatan alat bantu dengar. Tetapi, harganya selangit, yaitu Rp 23 juta. Uang sebesar itu bukan lah jumlah yang sedikti bagi kami. Demi Bintang dan atas keikhlasan orangtua dan sauadara-saudara kami, rumah ibu peninggalan mendiang ayah di Buduran, Sidoarjo yang kami tinggali bersama-sama, akhirnya kujual. Hasilnya, setelah untuk membayar hutang yang selama ini untuk membiayai pengobatan Bintang, kami belikan alat bantu dengar.
Sejak itu, kami tinggal di rumah cicilan yang memang sebelumnya sudah aku ambil. Sayangnya, alat bantu dengar itu tak bisa bekerja maksimal setelah dipakai Bintang. Tak banyak perubahan berarti yang terjadi pada diri Bintang. Bahkan, semakin besar, tingkah Bintang semakin sulit diatur. Karena ia tak bisa mendengar perintah, sehingga sikapnya cenderung liar.
Kemudian, pihak penjual alat bantu dengar menyarankan untuk memasang alat dengar secara implant. Yaitu sebuah alat yang ditanam dalam tempurung kepala Bintang untuk mengantikan fungsi telinga. Lagi-lagi biayanya tak main-main. Pemasangan alat beserta operasinya memerlukan biaya Rp 200 juta!
Rasanya pening aku mendengar harga yang ditawarkan. Mana mungkin, aku punya uang sebesar itu, sementara untuk makan saja pas-pasan. Beruntung, teman-temanku di kantor mendukung. Mereka memintaku membuat surat permohonan kepada siapa saja. Baik ke media massa, artis, manajer artis sampai berbagai peruasahaan. Dan syukur alhamdulillah, lama kelamaan ada saja yang mengirimi uang ke rekeningku. Sebenarnya, aku sudah berusaha minta kebijkasanaan mengagunkan rumah cicilan yang aku tempati itu ke bank, tapi ditolak.
Alhamdulillah, Tuhan mendengar keluhanku. Lama kelamaan, ada bantuan khusus yang akhirnya bisa terkumpul untuk biaya pemasangan implan tersebut. Desember 2010 lalu adalah saat yang mendebarkan. Bintang, akhirnya dioperasi di RS Dr. Soetomo oleh dr. Haris dan dr. Titik. Aku masih ingat sekali, Bintang mengusap air mataku sebelum ia masuk kamar operasi. Ia sepertinya mengerti isi pikiranku.
Sepanjang dioperasi, perasaan berdebar kembalai menggelayut. Aku berharap, jangan sampai operasi ini gagal. Karena, perjuanganku rasanya sudah mentok.
Aku bersyukur sekali, setelah operasi pemasangan itu selesai, alat itu bisa berfungsi dengan baik. Bintang, bisa merespons apa yang ia dengar. Namun, perjaunganku belum selesai. Aku harus aktif mengantarkan Bintang untuk diterapi bicara. Karena selama ini ia, kan, tak pernah mendengar ucapan orang, sehingga perlau latihan khusus untuk mengajarinya.
Akan tetepi, semenjak ia memakai alat implant, sudah sangat jauh sekali perbedaannya. Bintang sekarang tidak bersikap liar lagi. Ia bahkan sudah mengerti dan bisa menirukan ucapanku. Kini, ia tak pernah berhenti mengelayut dan menciumiku setiap aku pulang dari bekerja.
Sungguh, kebahagiaan itu menghapus rasa lelah yang kualami selama ini. Semoga, dengan segala keterbatasan ini Bintang bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi sesamanya di kemudian.
Gandhi Wasono M.
KOMENTAR