Kamis (14/4) nahas itu, aku sebenarnya tak menduga Almira bakal mendapat siksaan yang berujung kematiannya. Ceritanya, malam itu sepulang dari kerja, Sur minta makan. Karena hari itu aku tak masak, kutawari membeli nasi goreng yang tak jauh dari rumah. Ketika kutinggal, Almira sedang tidur pulas. "Tolong jaga Almira, ya. Jangan diapa-apakan anakku!" pesanku pada Sur.
Sekitar 30 menit kemudian, saat tiba kembali di rumah, aku agak curiga menemukan pintu ditutup dari dalam. Setelah kuketuk, baru Sur membukakan pintu. Kuhampiri anakku. Wajah Almira pucat sekali, sementara matanya tidak mau membuka. Napasnya sedikit tersengal-sengal. Aku juga melihat, di bawah bibirnya ada luka yang mengeluarkan sedikit bercak darah.
Melihat ada keganjilan, sontak kuangkat dan kutepuk-tepuk tubuhnya. "Kenapa anak ini, kok, tiba-tiba seperti ini? Kau apakan anakku?" teriakku saat itu sambil berharap Almira menangis. Di tengah kepanikanku itu, sambil makan nasi goreng, Sur berujar enteng. "Sudah, biarkan sajalah anak itu."
Aku makin panik setelah tak merasakan hembusan nafas Almira saat jariku kudekatkan ke hidung mungilnya. Setengah berteriak-teriak, aku minta diantar ke rumah sakit. Sampai di RS Muji Rahayu, Almira kularikan ke ruang Gawat Darurat. Alangkah terkejutnya ketika dokter yang memeriksa langsung menyatakan, anakku sudah meninggal dunia. Sontak jeritanku tak terbendung. Aku menangis sejadi-jadinya sambil memeluk tubuh Almira. Sur, dengan wajah seolah-olah memelas, masih sempat berpura-pura bilang. "Dokter, tolong selamatkan anak saya."
Di tengah isak tangis itu, dia bergegas pergi dengan alasan mau menelpon, mengabari keluarganya. Tapi, ditunggu-tunggu, dia tidak muncul. Akhirnya, malam itu juga Ibu menjemputku, membawa pulang jenazah Almira ke rumah Ibu dengan menumpang becak. Di rumah, kami menemui banyak luka di sekujur tubuh kecilnya. Ada luka membiru bekas gigitan di kedua lengannya, kulit punggung membiru, juga bibirnya.
Semua bekas tanda kekerasan itulah yang akhirnya membuat warga melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Sabtu (16/4) siang, Sur ditangkap polisi di terminal Arjosari, Malang, setelah sempat dinyatakan buron. Aku semakin tercengang karena dari hasil autopsi, Almira mengalami luka di bagian dalam akibat kekerasan di bagian dadanya. Dua tulang iga kanannya patah!
Aku benar-benar tak menyangka, akhirnya akan seperti ini. Belahan jiwaku yang tengah lucu-lucunya, dibunuh sesadis itu. Aku sama sekali tak punya firasat apa pun. Malah, sore itu, dia terlihat lucu sekali. Almira berusaha berjalan berjinjit-jinjit sambil berteriak-teriak minta dipakaikan sepatunya. Duh, anakku, sungguh mengenaskan nasibmu.
Aku sangat berharap Sur dapat ganjaran setimpal kendati aku juga menghadapi dilema lain. Saat ini aku tengah hamil lima bulan. Sur pernah minta aku menggugurkannya, tapi aku tak mau. Aku tak mau berdosa lagi. Mudah-mudahan aku dan anak dalam kandunganku ini tak akan lagi mengalami kelamnya hidup...
"Saya waktu itu jengkel. Capek-capek dari seharian kerja, kok, anak itu menangis terus. Waktu itu istri saya pergi membeli nasi goreng karena saya sudah lapar sekali," kata Sur ketika ditemui di Mapolsek Tandes, Surabaya (Rabu, 20/4). Hari itu, pria berkulit gelap ini baru saja menjalani pemeriksaan kejiwaan di Mapolda Jatim.
Dipicu rasa emosi itulah, ia mengaku jadi lepas kendali. Kepalan tangannya yang kekar dipukulkan ke dada Almira. Selanjutnya, Sur menggigit Almira di beberapa bagian tubuhnya. "Saya waktu itu hanya khilaf. Saya tidak berniat membunuh, cuma supaya dia berhenti menangis," katanya dengan enteng.
Setelah beberapa kali pukulan, Almira langsung terdiam dan tak bergerak lagi. Kendati demikian, ia mengira saat itu putri kecilnya hanya pingsan belaka. "Saya tidak tahu kalau akhirnya meninggal," ujar Sur yang juga bertutur, Lusy adalah istri kedua. Sebelumnya dia pernah menikah tapi kandas di tengah jalan. "Satu anak saya dibawa ibunya," tutur Sur yang bakal dijerat pasal berlapis dengan ancaman hukuman belasan tahun penjara.
Gandhi Wasono M
KOMENTAR