Aku sendiri tak mengerti, mengapa hidupku selalu "bersahabat" dengan kemalangan. Mungkin ini sudah jalan hidup yang harus kulalui. Aku adalah bungsu dari empat bersaudara. Meski tidak berlebih, tapi keluargaku termasuk cukup secara materi.
Setelah menamatkan pendidikan di sebuah SMA di Surabaya, aku sempat menganggur beberapa waktu sebelum akhirnya diterima sebagai tenaga lepas di PT. Telkom. Saat bekerja itulah, aku berkenalan dengan lelaki bernama B. Di mataku, B yang berasal dari Krian, Siadoarjo, berkepribadian baik. Bermodal keyakinan, aku melepas masa lajangku meski sebenarnya ibuku tak setuju karena ketiga kakakku belum ada yang menikah. Tapi melihat kesungguhan hatiku untuk hidup bersama B, akhirnya Ibu tak mampu menghalangi niatku.
Dimabuk Cinta
Tak lama setelah menikah, aku mengandung dan melahirkan anak pertamaku, Nabilla, yang kini berusia 6 tahun. Sayangnya kebahagiaan itu tak sejalan dengan perilaku B yang lama-kelamaan kelihatan "warna aslinya". Dia ternyata lelaki yang temperamental. Sedikit saja persoalan muncul, pasti ujungnya aku ditendang, dipukul, atau minimal dimaki-maki.
Tak tahan dengan perilakunya yang makin hari makin menjadi, aku melarikan diri pulang ke rumah ibuku di Manukan Kerto bersama Nabilla. Sejak itu, hubunganku dengan B putus, meski tidak secara hukum. Sebab, sampai saat ini aku masih belum cerai secara resmi. Sejak pisah, Nabilla diasuh ibuku.
Sekitar tahun 2007 aku berkenalan dengan seorang lelaki. Karena sehari-hari pekerjaanku di Telkom selalu berhadapan dengan dunia internet, melalaui jejaring sosial Friendster, aku bertemu dengan Sur (25). Pertemuan tanpa sengaja itu akhirnya berlanjut dengan telepon-teleponan, kemudian "kopi darat". Jujur, sebagai perempuan aku terpesona padanya. Selain fisiknya gagah, yang membuat aku simpati padanya adalah kepribadiannya yang santun dan lembut. Aku semakin yakin dia orang baik. Melihat aku salat, dia pun mengikutiku. Ah, pendek kata, ia mampu meluluhkan hatiku.
Seperti perkawinanku yang pertama, ketika Sur mengajakku menikah, orangtuaku tak setuju. Begitu juga ayah dan ibu Sur, tak setuju. Dasar sudah dimabuk cinta, apalagi saat itu aku sudah berbadan dua, kami menikah secara siri di kawasan Jetis, Surabaya.
Aku berharap, setelah menikah hidupku berubah menjadi baik. Ternyata yang kuhadapi justru sebaliknya. Aku terlambat menyadari betapa sebetulnya Sur penuh kepalsuan. Dia ternyata tidak memiliki pekerjaan, seperti yang dikatakannya padaku.
Sejak menikah lagi, kehidupanku berbalik 180 derajat. Kontrak kerjaku di Telkom yang sudah kujalani 5 tahun, tidak diperpanjang. Sur kemudian kerja seadanya. Kadang mengamen di jalanan atau di bis, kadang juga jadi "polisi cepek" di perempatan jalan. Sementara itu, kehamilanku semakin besar sehingga perlu biaya tambahan.
Ibarat pepatah, lepas dari mulut harimau musuk mulut buaya, begitulah gambaran nasibku hidup bersama Sur. Tabiat Sur ternyata sama persis dengan suami pertamaku. Bahkan, Sur lebih brutal jika sedang melakukan kekerasan. Tubuhku ibaratnya dijadikan sandsack hidup. Dia tak peduli aku sedang hamil tua, tetap saja ditendang dan dipukul.
Karena tak ada pekerjaan tetap, kami tidak bisa membayar kos, apalagi kontrak rumah. Kami lalu hidup menggelandang! Dalam keadaan perut buncit, aku diajak mengamen naik-turun bis. Sementara kalau malam, aku tidur beralas koran di stasiun komuter (Kereta Rel Diesel-Red.), Jl. A. Yani, Surabaya.
Ada satu pengalaman mengharukan yang pernah kualami. Suatu ketika, ada seorang penumpang komuter yang mungkin iba melihat diriku yang hamil dan tidur beralas koran. Oleh penumpang itu aku diberi kotak berisi nasi dan daging kambing dari acara aqiqah. Rasanya nikmat sekali menyantap nasi pemberian di tengah keadaan perut lapar.
Kerap aku bertanya-tanya di dalam hati, mengapa kesetiaanku yang demikian kuat, tidak dibalas dengan cinta oleh Sur. Setiap ada persoalan, dia tak pernah berhenti menganiayaku. Tapi karena aku terbius cintanya, aku tetap mengikuti ke mana pun dia pergi. Sekitar setengah tahun hidup menggelandang, baru menjelang persalinan aku mencari kos-kosan murah. Di situlah anakku lahir dengan bantuan bidan, di kawasan Jagir, Surabaya. Ibuku yang menebus biaya persalinan. Bayi perempuan lucu dan montok itu kuberi nama yang sangat indah, Almira Safa Adinda.
Diteror Terus
Setelah Almira lahir, kami pindah kos di kawasan Wonorejo, Tandes. Sehari-hari, aku di rumah mengasuh Almira sementara Sur kerja seadanya seperti dulu. Yang membuatku heran dan sedih, sikap Sur tak seperti sikap bapak pada umumnya yang gembira dengan kelahiran buah hatinya. Dia justru sangat tidak suka dengan Almira. Sejak bayi masih merah, Sur sudah gemar mencubit pahanya hingga menangis kesakitan. Meski berulang kali kumarahi, tetap saja dilakukannya.
Puncaknya, ketika Almira masih berusia 3 bulan, tanpa sebab yang jelas, Almira ditutupi dengan kasur! Saat itu aku sedang ke kamar mandi. Untung saja aku segera tahu. Karena tidak tahan dengan perilaku Sur yang kelewat kasar, diam-diam aku lari pulang ke rumah ibuku.
Sur berusaha mencariku di rumah. Karena tidak berani masuk rumah, saban hari dia meneror rumahku. Hampir setiap dinihari, dia berteriak-teriak memanggil-manggil namaku. "Ma...Ma... Keluar kamu, Ma!" demikian teriaknya dari depan rumah. Semula aku tak menggubrisnya tapi lama-lama aku kasihan pada keluargaku yang makin hari makin tertekan dengan terornya. Sur bahkan pernah mengancam akan mengguna-gunai aku.
Entah karena pengaruh guna-guna atau tidak, yang pasti setelah sering mendapat teror itu, aku mulai cemas dan gelisah. Tanpa sepengetahun ibu, aku meninggalkan rumah bersama Almira yang saat itu sudah berusia 9 bulan. Aku dijemput Sur saat tidak ada orang di rumah. Kami pun tinggal serumah lagi. Yang tak kusangka, suamiku itu belum juga berubah. Dia tetap doyan memukulku dan Almira.
Gandhi Wasono M / bersambung
KOMENTAR