"Papa sakit, Papa tidur di peti," tutur Bianca (2,5) di tengah para pelayat yang datang di rumah duka RS UKI, Rabu (20/4). Celotehan lugu si kecil ini mau tak mau menimbulkan rasa haru. Bianca memang belum mengerti benar apa yang terjadi. Ia hanya tahu sang ayah, Helmy Johanes Manuputty (33), tidur dalam peti tanpa tahu ayahnya tak akan pernah bangun lagi.
"Dia memang sangat dekat dengan ayahnya," kata Theresia Ester Watimury (33), istri Helmy, dengan nada lirih. Bianca, lanjutnya, "Sempat takut ketika melihat wajah ayahnya yang babak belur."
Babak Belur
Kisah sedih ini, seperti dituturkan istri mendiang, terjadi Senin (11/4) silam. Sehari sebelumnya, "Helmy dapat surat kuasa dari kantornya. Itu artinya ada nasabah yang menunggak, tidak membayar pinjaman, dan dia yang bertugas menagih," kata Theresia. Helmy bekerja sebagai tenaga outsourcing di PT Sinar Mitra Sepadan (SMS), kawasan Margonda Raya, Depok.
Si penunggak utang, lanjut Theresia, anggota TNI yang disebutnya bernama Koptu R. "Kata Helmy, orang itu menunggak dua bulan tapi dia mau membayar dan datang ke kantor. Mendengar penjelasannya, saya tidak cemas ketika pagi itu dia pamit berangkat kerja." Tunggu punya tunggu, sang suami tak juga pulang. "Soalnya hari itu Helmy janji akan mengajak Bianca ke PGC (Pusat Grosir Cililitan) Mal sepulang kerja."
Theresia jadi panik ketika kemudian telepon selular Helmy tak bisa dihubungi lagi. "Awalnya, saya biasa-biasa saja. Pikir saya, mungkin dia sedang menjalankan tugas." Sayang, dugaan Theresia salah. Sore hari, ia justru mendapat kabar dari salah seorang teman kerja Helmy yang mengabarkan, suaminya dan dua temannya dibawa pergi sekelompok pria.
"Saya menduga, pasti ada masalah dengan si penunggak utang itu. Pikiran saya jadi enggak keruan. Pasti sesuatu yang buruk telah menimpa Helmy. Sepanjang malam itu saya enggak bisa tidur. Saya berharap Helmy pulang meski dalam kondisi babak belur," kata Theresia.
Lalu jam 03.00 pagi, telepon Theresia berdering. Kembali teman Helmy menghubungi. "Katanya, Helmy ke rumah dia dalam kondisi luka-luka, jadi dibawa ke Rumah Sakit UKI. Pagi itu juga, saya ke RS naik ojek."
Di RS, perempuan ini menemui suaminya yang tengah dirawat di UGD. "Dia sadar tapi belum banyak cerita. Wajahnya penuh lebam. Saya enggak tahan melihat keadaannya tapi dia malah membesarkan hati saya. Katanya, toh, semua sudah lewat."
Setelah dipindah ke ruang rawat inap, barulah Helmy menceritakan musibah yang menimpanya. Ia mengaku dibawa serombongan pria dalam keadaan mata ditutup dan kaki-tangan diikat. Sampai di suatu tempat, Helmy mengaku terus dipukuli tubuh dan wajahnya. Ia tak tahu siapa saja yang memukul. Sempat kakinya diparang. Beruntung parangnya tumpul. "Ada bekas lebam di kakinya." Salah satu telinga Helmy juga sempat disayat dan belakangan dijahit oleh dokter.
Setelah dipukuli, Helmy diturunkan di kawasan Cililitan. "Dia langsung ke rumah kawannya dan minta diantar ke RS. Apa pun keadaannya, saya lega dia sudah pulang," kata Theresia yang kemudian mengontak kerabatnya di Ambon, Maluku. Sejak itu, Theresia dan si kecil Bianca menemani suaminya. Kondisi sang suami pasang-surut. Helmy sering batuk-batuk. Beberapa hari kemudian, Helmy mengaku sudah baikan. "Seminggu setelah kejadian, rencananya Helmy mau pulang karena kondisinya sudah lebih baik. Dokter juga mengizinkan. Rencananya, dia akan melanjutkan pengobatan alternatif di Ambon."
Belum lagi selesai bersiap-siap pulang, "Dia batuk-batuk dan mengeluarkan darah. Kondisinya drop." Ibunda Helmy, Helena Manuputty (57), yang menunggui di saat-saat terakhir Helmy bercerita, "Saya khawatir sekali ketika dia muntah darah. Dia mengeluh dadanya sakit. Selain itu, beberapa kalid ia mengeluh, 'Mama, kepala beta sakit sekali.' Ia sempat tiduran di bawah. Tak lama kemudian anak saya meninggal."
Begitulah, sekitar pukul 17.45 Helmy mengembuskan napas terakhir. Jasadnya, Rabu (20/4) malam diterbangkan ke Ambon untuk dimakamkan di kampung halamannya. "Saya, Theresia, dan Bianca yang menemani Helmy," kata Helena.
Ingin Jadi Polisi
Kehilangan Helmy, tentu dirasanyanya amat berat. "Dia orang baik dan sangat menyayangi Bianca. Malah cenderung memanjakan.DiIa selalu berusaha memenuhi keinginan Bianca, misalnya membelikan mainan. Dia tak pernah berkata tidak. Kalau punya uang lebih, Bianca sering diajak jalan-jalan ke PGC. Kalau enggak punya uang, dia akan bilang, 'Nanti, ya, Bianca, kalau Papa sudah punya uang.' Helmy sangat sabar pada anak," kenang Theresia yang mengaku kenal Helmy sejak sama-sama tinggal di kampung halamannya.
Sepuluh tahun lalu, "Helmy mengadu nasib ke Jakarta. Beberapa tahun kemudian, saya menyusul ditemani Ibu. Awalnya dia bekerja sebagai sekuriti di sebuah perusahaan. Ketika dia sudah punya penghasilan, kami menikah. Meski Helmy punya saudara di Jakarta, dia ingin mandiri. Kami pun menyewa rumah petak."
Lima tahun belakangan ini, Theresia tahu, suaminya pindah kerja ke Depok dan menjadi penagih utang. Theresia sadar betul, tugas suaminya tidak ringan. Ia juga paham, masyarakat memandang profesi ini dekat dengan kekerasan. "Biarlah orang berkata begitu tapi saya tahu persis suami saya. Dia orang yang baik. Selama bekerja, dia mengaku tidak berlaku keras pada nasabah. Saya pun jadi tenang."
Sebetulnya, kata Helena menambahkan, "Papanya Helmy di kampung enggak setuju dengan pekerjaan Helmy. Profesi ini, kan, dipandang buruk oleh masyarakat. Pernah papanya minta dia kerja di Ambon saja tapi Helmy mengaku punya banyak teman di Jakarta. Ya sudah, kami hanya minta dia berhati-hati dalam bekerja," kata Helena yang menetap di Ambon. Ibu empat anak ini mendapat kabar musibah Helmy dari menantunya. Namun, ia baru bisa terbang ke Jakarta Jumat lalu. "Saya sempat transfer Rp 2,5 juta untuk biaya obat. Saya sendirian ke Jakarta. Suami deg-degan terus karena katanya Helmy bersengketa dengan oknum tentara."
Di mata sang bunda, Helmy begitu istimewa. "Di antara anak-anak, Helmy yang paling dekat dengan saya. Dia anak baik. Rajin. Tak pernah dia membiarkan rumah berantakan. Dia rajin merapikan rumah. Dia juga senang cangkul-cangkul halaman, menanam singkong," kisah Helena. Saat Helmy akan masuk SMA, "Situasi Ambon sedang tak aman, jadi saya suruh dia sekolah di Manado, ikut kerabat. Dia disukai kerabat saya karena rajin. Rumah selalu bersih. Dia memang anak yang pandai membawa diri."
Tamat SMA, Helmy kembali ke kampung halaman. "Cita-citanya jadi polisi. Badannya memang tegap. Dia, kan, rajin olahraga. Sayang sekali, dia tak lolos tes. Wah, dia kecewa sekali. Lalu, dia pamit ingin mengadu nasib ke Jakarta. Saya dan papanya mengizinkan. Kami hanya minta Helmy berhati-hati hidup di rantau," tutur Helena sambil menahan tangis.
Theresia, Helena, dan tentu saja Bianca, memang harus merelakan kepergian orang yang sangat mereka kasihi itu. "Tapi yang jelas, kami berharap kasus kematian Helmy diusut sampai tuntas!" kata Helena.
Henry Ismono
KOMENTAR