Beberapa kali itu pula SI berusaha menenangkan keluarga sekitar 20 awak kapal yang disandera, dengan mengatakan, uang tebusan (sekitar 2,6 juta dolar Amerika, Red.) sudah ada. Keluarga pun diminta tidak sembarangan memberi keterangan kepada media, dengan alasan khawatir mengganggu proses negosiasi yang sedang berjalan. "Mereka bilang, uangnya sudah ada, tinggal memastikan kapan penebusan dilakukan karena mereka takut uangnya tidak sampai ke tangan pembajak atau nyasar ke kelompok lain," tutur Isti yang mengaku sudah kesal diminta untuk tetap tenang dan sabar.
Isti makin panik karena kemudian muncul isu, Pemerintah akan mengerahkan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah ini. "Saya takut kalau Pemerintah mencoba membebaskan dengan TNI. Jumlah mereka (pembajak), kan, lebih banyak. Apalagi ABK sudah dalam keadaan lemah. Kalau sampai terjadi sesuatu, bagaimana?" ungkap Isti yang tetap berharap SI dan negara menuruti saja permintaan pembajak.
Berdasar kontak terakhir via telepon dengan putranya Kamis (31/3), Istidati mengetahui kondisi psikologis Eki sangat tertekan. Eki sempat cerita, kamarnya diacak-acak kelompok pembajak sehingga tidak leluasa menelepon keluarga. "Cepat tebus saya, Mama," kata Eki seperti ditirukan Isti. Kalimat itu, "Sering dikatakan Eki. Saya tahu betul, dia sangat tertekan."
Pada sang anak, Isti menyampaikan, pihak SI sedang mencari cara menyerahkan uang tebusan dan jika salah, bisa-bisa uang tak jatuh ke tangan perompak. "Eki bilang, 'Bohong, Ma! Enggak mungkin salah kelompok! Uangnya, kan, dilempar dari atas pakai helikopter!' Saya jadi bingung, harus bagaimana supaya Eki dan awak lain segera bebas?" ungkap Isti dengan suara bergetar menahan emosi.
Yang ia inginkan, SI segera membayar uang tebusan. "Atau kalau belum ada uangnya, paling tidak Pemerintah nalangin dulu. Bukan seperti ini. Kesannya proses nego tidak jelas sampai di mana. Saya dan keluarga lain juga terus berupaya datang ke pihak-pihak yang bisa memberi pertolongan. Ini semua akibat transparansi dan koordinasi yang kurang baik dari SI maupun Pemerintah. Saya merasa seperti kehilangan induk. Siapa lagi yang mau menolong kami?" katanya lirih.
Keluarga lainnya, Djoko Susilo (66), malah sudah berkirim surat ke Presiden SBY dan Palang Merah Internasional. Djoko adalah kakak ipar Slamet Jauhar, Kapten Kapal Sinar Kudus. Ia agak tenang karena dari penuturan Slamet lewat telepon, "Sudah terlihat ada kemungkinan penyelamatan. Menurut informasi yang saya dapat, tebusan akan dibayarkan," kata Djoko.
Adik iparnya juga bertutur, "Selain makanan dan minuman, para ABK juga perlu obat-obatan. Gimana enggak sakit? Makan sekali sehari, jarang minum dan enggak pernah mandi. Terlebih selama disandera, mereka dipaksa berdiri di anjungan tanpa atap dan dinding. Slamet memilih puasa. Selain menguatkan mental, juga karena keterbatasan logistik." Yang membuatnya prihatin, istri Slamet jadi depresi. Kedua anaknya juga bingung.
Masih menurut Djoko, di tengah tekanan itu, sebagai kapten kapal, Slamet berhasil membuat negosiasi dengan perompak. Dalam kesepakatan itu, perompak menyetujui tebusan 3 juta dolar AS atau sekitar Rp 27 miliar dan pembayaran dilakukan paling lambat 12 April 2011. Yang pasti, Djoko berharap apa yang dilakukan Pemerintah Ri membuahkan hasil positif. "Jangan dulu dilakukan operasi militer. Kalau semua sandera memang sudah dibebaskan, terserah. Kami sekali lagi mohon bantuan dan doa agar secepatnya semua ABK berhasil pulang ke tanah air."
Yang membuatnya agak cemas, Slamet yang sejak disandera selalu meneleponnya, "Sudah dua hari ini tak kirim kabar. Mudah-mudahan saja tidak terjadi hal yang tidak kita inginkan."
Laili Damayanti, Edwin Yusman / bersambung
KOMENTAR