"Kemiskinan bukan halangan untuk belajar." Begitu, motto hidup Kiswanti (47). Karena kondisi ekonomi orangtuanya pas-pasan, Kiswanti hanya bisa mengecap pendidikan sampai tamat SD saja. Namun, ia berusaha belajar sendiri lewat buku. "Dulu, setamat SD saya sudah kerja serabutan. Kadang jadi buruh mengupas kacang tanah, mencari melinjo untuk dijual, dan lain-lain. Uangnya saya pakai buat beli buku bekas," kata Kiswanti yang masa kecilnya dihabiskan di tempat kelahirannya di Bantul, Yogyakarta.
Meski tak sekolah tinggi, Kiswanti tetap rajin membaca. "Dari teman SMP, saya tahu buku-buku pelajaran yang dia pelajari. Saya belajar sendiri saja. Sampai teman-teman tamat SMA, saya juga belajar seperti yang mereka lakukan," kenang Kiswanti.
Sambil belajar sendiri, Kiswanti terus mengoleksi buku-buku bacaan. "Koleksi buku saya sampai 1.500," ujar Kiswanti yang setelah menikah dengan Ngatmin lalu mengadu nasib ke Jakarta. "Suami kerja jadi buruh bangunan sampai sekarang."
Kiswanti beruntung, bersama suami sanggup memiliki rumah sendiri dan menetap di kawasan Lebakwangi, Parung, Bogor, sejak 1994. "Dulu, kawasan tempat tinggal saya masih sepi. Belum ada listrik, jalanan di sini juga masih belum beraspal."
Di Parung, Kiswanti merasa prihatin melihat kondisi perkembangan anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya. "Bayangkan saja, anak umur 4-5 tahun, sudah bisa mengumpat dengan kata-kata kotor. Mereka juga sudah bisa menirukan gaya merokok."
Buku dalam Kulkas
Ketika itu, Kiswanti belum berani bertindak apa pun terhadap lingkungannya. "Nah, sejak 1997 tiap hari Minggu saya mulai mengajak anak-anak di sekitar rumah untuk main di rumah saya. Mereka boleh main, asalkan tidak mengumpat. "
Kiswanti juga mulai memperkenalkan buku kepada anak-anak. Caranya cukup unik. Ia membacakan buku cerita seperti kisah Jaka Kendil, Jaka Bodo, Putri Menur. Tapi, ia sengaja tak menyelesaikan ceritanya. "Bagi anak yang penasaran ingin tahu akhir cerita, mereka boleh pinjam buku saya. Mulailah ada anak yang pinjam buku."
Bukan perkara mudah bagi Kiswanti untuk melanjutkan langkah. Banyak orangtua menolak anaknya baca buku cerita karena takut mengganggu pelajaran. Kiswanti lalu menamakan taman bacaannya Warabal, singkatan dari Warung Baca Lebakwangi.
Ia pun membangun jaringan dengan pihak lain, salah satunya Komunitas 1001 Buku. Komunitas ini sering mengadakan acara, antara lain olimpiade taman bacaan anak. "Nah, anak-anak saya ikutkan lomba mendongeng dan menggambar. Ada beberapa anak yang menang lomba. Orangtua mereka jadi makin senang karena anak-anaknya berkembang."
Butuh waktu sekitar enam tahunan sampai orangtua anak-anak menerima penuh kehadirannya. Karena kondisi keluarganya yang juga pas-pasan, "Semula saya menyimpan buku di kardus dan bekas kulkas. Lama-kelamaan saya bisa membuat rak untuk memajang buku."
Setelah lingkungan sekitar kenal Warabal, Kiswanti mengajak anak-anak di kampung sekitar untuk semakin mengenal buku. Ia mendatangi langsung anak-anak itu dengan sepeda merahnya. "Sambil jualan jamu pakai sepeda, saya bawa banyak buku."
Tiap pagi dan sore Kiswanti keliling memperkenalkan Warabal. Ia berseloroh, "Ini sepeda pintar," cetusnya. Ungkapan ini ia sampaikan ketika ikut workshop yang diselenggarakan Komunitas 1001 Buku. "Saat itu, saya hanya sebagai peserta workshop. Dari situ, banyak wartawan yang meliput aktivitas saya."
Banyak warga kemudian bersimpati dengan aktivitasnya. Jaringan Kiswanti pun makin luas. Selanjutnya, ada donator yang menyumbang buku. "Saya juga dapat sumbangan buku dari Komunitas 1001 Buku."
Kiswanti senang ketika mendapat sumbangan sepeda motor dari Imam B. Prasodjo. Sepeda motor itu kini menggantikan sepeda merahnya. "Sekarang, saya sudah tidak keliling. Ada seorang relawan yang keluar-masuk kampung-kampung."
Kini, ia sudah ditemani 18 relawan. Bahkan, Kiswanti dan warga sekitar patungan membeli komputer pada 2005 seharga Rp 1,7 juta. Jadwal kegiatan di Warabal pun makin banyak, dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga pendidikan Al-Quran untuk anak SD. Ada pula les Bahasa Inggris, Matematika, dan IPA.
Raih Penghargaan
Kini, Warabal punya anggota aktif mencapai 1.700 orang. "Kalau anggota tidak aktif, sih, jumlahnya puluhan ribu orang." Aktivitas Kiswanti pun makin padat. Ia sering diundang ke berbagai forum, termasuk ke Filipina untuk berbagi pengalaman. Kiswanti juga bangga karena pada 2008 menerima penghargaan Nugra Jasa Darma Pustakaloka dari Perpustakaan Nasional. Salah satu hadiahnya adalah buku-buku. "Sekarang, Warabal punya koleksi sekitar 7 ribu buku," katanya bangga.
Yang lebih membahagiakan lagi, kini Warabal dapat bantuan dari YAD (Yayasan Arsari Djojohadikusumo) untuk membuat perpustakaan. "Saya juga dapat donator dari Yayasan Wadah. Mereka membuatkan bangunan dua lantai di sebelah rumah, yang sekarang dalam proses pembangunan."
Kiswanti merancang bangunan itu untuk berbagai aktivitas. Lantai dua untuk perpustakaan, lantai satu untuk gedung serba guna. Lahan yang masih kosong, "Rencananya, akan saya tanami tanaman obat. Gedung ini nanti akan dikelola warga," kata Kiswanti yang bahagia dengan segala kesederhanaannya. "Langkah saya bisa berarti buat orang lain."
Henry Ismono
KOMENTAR