Banyak sekali! Bapak orangnya suka berorganisasi. Dia pernah bergabung dengan Partai Perhimpunan Indonesia Baru pimpinan mendiang Pak Syahrir. Terakhir, aktif sebagai Sekjen Partai Pemersatu Bangsa. Di luar urusan pekerjaan, Bapak bergaul dengan teman-teman partainya.
Selama ini Bapak sangat dekat dengan anak-anak. Tiap pagi sebelum berangkat kerja, Bapak selalu mengantar anak-anak ke sekolah. Bapak juga selalu memotivasi anak-anak agar maju, termasuk kepada Citra, si bungsu, yang banyak kegiatan ekstrakurikuler.
Bagaimana keadaan anak-anak setelah ditinggal ayahnya?
Kepergian Bapak membuat anak-anak terpukul. Mereka minta, untuk sementara waktu, Om-nya tinggal di sini menemani kami. Namun, tidak bisa seterusnya, kan? Kami tidak tahu betapa sepinya rumah ini kalau semua saudara sudah pulang ke rumah masing-masing.
Saya juga tak tahu, bagaimana masa depan anak-anak nanti. Selama ini, Bapaklah tulang punggung keluarga. Saya berharap, pihak Citibank mau bertanggung jawab sebagaimana mestinya. Sayang, sampai sekarang pun mereka tidak pernah menyampaikan simpatinya secara langsung kepada keluarga. Minta maaf saja, tidak. Padahal, Bapak jelas meninggal di sana.
Sungguh saya berharap, kasus kematian Bapak diusut secara tuntas. Siapa yang terlibat, mesti bertanggung jawab. Mudah-mudahan kasus ini tidak direkayasa.
Cerita cara-cara penagihan debt collector yang melampaui batas, juga dialami Tyas Endah (43). Padahal, ngutang ke bank saja tidak. Ceritanya, ibu empat anak ini namanya dijadikan referensi oleh kakak kandungnya saat mengajukan kartu kredit. Satu ketika, "Rupanya, kakak saya belum bisa membayar pinjaman," jelas ibu tiga anak ini. Mungkin karena tak berhasil menghubungi sang kakak, Tyas jadi sasaran.
Semula, kata Tyas, sang penangih menelepon baik-baik, menanyakan keberadaan sang kakak. "Karena saat itu saya tidak tahu, ya, saya jawab tak tahu." Rupanya sang penagih tidak puas dengan jawaban Tyas. "Dia bilang enggak mungkin saya enggak tahu. Lha, kalau saya tak tahu, mau bilang apa?"
Kesal, sang penagih melancarkan aksi teror. "Dia mengancam akan mendatangi rumah. Omongannya juga tidak pantas." Meski hanya lewat telepon, teror itu cukup membuat repot Tyas dan keluarganya. Apalagi, penagih juga menelepon tempat kerjanya. "Yang ngutang siapa, yang diteror siapa?"
Karena tak tahan, Tyas terpaksa memutus kabel telepon rumahnya. Rupanya langkah Tyas tak membuat si debt collector menyerah. Kini, sasarannya ke tetangga Tyas. "Yang bikin saya marah, ke tetangga dia bilang saya berutang ke bank Rp 10 juta. Yang Rp 5 juta dipakai tetangga."
Buat Tyas, itu sudah masuk kategori fitnah. "Ini sudah ngawur!" Beruntung tetangga yang ditelepon itu baik. Dia langsung menyampaikan semuanya ke Tyas. "Saya sampai minta maaf dan menjelaskan bahwa yang berutang adalah kakak saya. Coba kalau tetangga diam-diam saja?"
Tyas tahu, tujuan sang debt collector menebar fitnah ke tetangga agar ia malu dan membayarkan utang kakaknya. "Tapi tetap saja, meski sudah sampai batas yang tak wajar, saya tak mau. Saya, kan hanya sebagai refensi, enggak punya kewajiban membayari utang kakak saya."
Teror itu, kata Tyas berlangsung berbulan-bulan. "Cukup merepotkan. Memang tak sampai nongkrongin di rumah meski pernah ada yang datang. Karena yang ada cuma ibu saya, dia balik lagi."
Henry Ismono, Sukrisna
KOMENTAR