Sebenarnya bagaimana cerita di hari nahas itu, Bu?
Saya masih ingat betul, Selasa (29/3), Bapak bangun pagi lalu mengantar anak-anak, Grace dan Citra, ke sekolah dengan sepeda motornya. Setelah itu, ia pamit, seperti tidak ada apa-apa. "Doakan, ya, agar semuanya berjalan baik," begitu katanya sebelum meninggalkan rumah.
Sekitar pukul 17.00, seseorang datang ke rumah kami di Perumahan Budi Indah, Tangerang, dan mengabarkan Bapak meninggal dunia. Katanya, jasadnya sudah disemayamkan di Cipto (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo). Berita ini tentu saja mengejutkan saya dan dua putri kami. Kami hanya bisa menangis, tanpa tahu harus berbuat apa.
Karena tidak mau percaya begitu saja, saya coba hubungi nomor HP Bapak. Bukan Bapak yang menerima, tapi temannya. Teman itu mengabarkan Bapak sudah disemayamkan di Cipto, setelah sebelumnya sempat dibawa Ke Rumah Sakit Mintohardjo.
Setelah itu, apa yang Ibu lakukan?
Dalam kondisi kebingungan, saya menghubungi salah satu keponakan untuk mengurus Bapak. Keponakan itulah yang menghubungi keluarga kami yang lain. Malamnya, saya ke RSCM, sebab Bapak akan diotoposi. Saya harus tanda tangan surat persetujuan. Keesokan harinya saya mendapat surat dari RSCM tentang hasil pemeriksaan fisik saat jasad Bapak diterima RSCM.
Kondisi tubuh Bapak dikatakan mengalami kekerasan benda tumpul, terdapat memar di batang otak, ada perdarahan di bawah selaput otak, juga terdapat pembekuan darah. Semula saya memang tidak tahu maknanya karena masih terlalu berduka.
Saat itu, apakah Ibu sudah curiga adanya kekerasan yang dilakukan ke Bapak sampai akhirnya berakibat fatal?
Ya. Dari visum sementara itu, saya menduga Bapak mengalami kekerasan fisik. Lama-kelamaan duduk perkaranya semakin jelas. Bapak meninggal di kantor Citibank saat mengurus kartu kreditnya yang macet. Bapak, kan, ke sana dalam keadaan sehat, kok, pulang sudah tak bernyawa?
Sejak kapan Bapak memakai jasa layanan kartu kredit dari Citibank?
Bapak sudah lama menjadi pemegang kartu kredit Citibank, mulai tahun 1980-an. Kartu kredit itu, kata Bapak, berguna untuk keperluan bisnisnya di bidang kargo. Awalnya usaha Bapak lancar. Kewajiban Bapak membayar kartu kredit juga lancar. Pokoknya, enggak pernah nunggak. Karena reputasi yang bagus, Bapak yang semula pegang kartu silver, ditawari kartu gold, dan meningkat lagi jadi platinum. Selama ini, Bapak kooperatif dan jujur.
Tiga tahun belakangan ini, memang usaha Bapak tidak selancar dulu. Mulai ada orang yang mengaku dari Citibank datang menagih. Oktober tahun lalu, pernah malam-malam ada enam orang datang ke rumah. Bapak sudah menjelaskan, belum bisa membayar. Namun, mereka ngotot. Bahkan, mereka sampai menginap di teras rumah. Jangan tanyakan bagaimana perasaan saya saat itu. Tidak hanya terteror, tapi juga malu. Anak-anak juga merasakan hal yang sama.
Saat itu, Bapak diminta menyelesaikan urusan di kantor Citibank. Makanya Bapak datang ke sana. Wah, saya sempat cemas juga. Saya sempat menelepon untuk menanyakan keadaannya. Saya takut terjadi apa-apa. Tapi, saya menenangkan diri, toh, Bapak datang ke Citibank, sebuah perusahaan yang besar, enggak mungkin ada apa-apa. Begitu pikir saya.
Saat menelepon itu, Bapak bilang apa?
Katanya akan mencoba menawarkan solusi terbaik. Bapak, kan, punya usaha pengiriman barang. Citibank pasti juga butuh jasa kirim barang. Bapak menawarkan solusi, pembayaran kartu kredit diangsur dari kerja sama pengiriman barang itu. Sayang, tawaran itu tak ada jawaban.
Ada firasat sebelum kejadian ini?
Hari sebelum kejadian, penagih kartu kredit itu datang lagi. Enggak lama, sih. Usai tamu pulang, saya sempat tanya Bapak bagaimana hasilnya. Sama seperti kedatangan sebelumnya, Bapak tetap diminta untuk datang ke kantor Citibank.
Saya tidak merasakan firasat yang buruk. Makanya, saya tak percaya ketika kabar duka itu datang.
Kira-kira bagaimana perlakuan Citibank kepada Bapak?
Kabarnya Bapak dibawa ke ruang khusus, lalu ia sendirian menghadapi para penagih itu. Saya tidak bisa membayangkan situasi saat itu (suara Esi mulai bergetar). Saya sedih ketika mendengar, saat di ruangan itu Bapak dibilang tidak kooperatif. Apa betul seperti itu?
Yang pasti, Bapak datang dalam keadaan sehat dan selama ini Bapak tidak punya riwayat sakit berat. Rasanya enggak mungkin Bapak tiba-tiba jatuh dan mengeluarkan darah di hidungnya. Belakangan ini saya juga dengar kabar, saat teman Bapak datang ke sana yang kabarnya ditelepon oleh salah satu pelaku, Bapak dibiarkan terkapar sampai beberapa saat. Bapak dibiarkan terbaring karena dikira pura-pura pingsan. Padahal, saat itu kemungkinan Bapak sudah meninggal. (Esi bicara dengan suara tersendat.)
Henry Ismono / bersambung
KOMENTAR